Tentara Tetap Tentara

Ciampea menjelang siang di awal September 2007. Truk tentara yang aku tumpangi, tiba-tiba berhenti di kawasan hutan pohon karet. Suasana di sana sudah ramai. Ada banyak tenda-tenda tentara. Tak jauh juga, banyak pelajar berpakaian pramuka. Suasana tempat itu, dikeliling bukitan kapur dan persawahan.

“Ada apalagi ini dengan tentara. Kok tempatnya banyak tentara begini,” ujar benak saya tiba-tiba.

Saya disatu dari dua truk yang mengangkut rombongan. Saya se truk dengan Yogyo, Frederick, Very, Veby, dan beberapa teman lainnya. Seorang tentara langsung menyambut kedatangan rombongan truk kami. Dan mengarahkan ke tempat makan.

“Kok tentara,” ujar benak saya lagi dengan berkecamuk curiga. Tentara langsung memberikan ransum, tempat makan ala tentara. Rombongan yang sudah mengambil makanan, diperintah untuk duduk rapi di tanah. Sambil menanti antrean makanan selesai.

Seorang tentara memerintah kami agar ada seseorang dari rombongan memimpin doa. Selesai itu, barulah makanan bisa disantap. “Man, kok tempatnya jadi kayak tentara,” ujar Frederick.

“Lah..ini outbound emangnya kayak gini,” ujar Very.

Ternyata apa yang ada dibenak saya, semuanya sama dengan rombongan lainnya. “Sialan,” mulailah timbul kekesalan dibenak saya.

“Abis makan, langsung bergabung dengan barisan lainnya. Kalian beruntung tidak mengikuti upacara seperti yang dialami teman-teman rombongan pertama yang sudah datang lebih dulu,” ujar seorang berbaju loreng.

Saya dan rombongan, datang di rombongan kedua. Rombongan pertama sudah datang pada malam diniharinya. Sedangkan rombongan kedua, siang hari. Ternyata, tempat itu benar-benar ala tentara. Barak-barak berderet. Rombongan pertama sudah berdiri di samping bendera merah putih.

Usai berbaris, saya langsung mencari barak untuk menyimpan tas sekaligus tempat tidurnya. Saya masuk ke kelompok IV. Di sana ada Yamin dan Rama Denny yang didaku menjadi ketua kelompok.

Rama Deny, adalah reporter senior untuk desk jabodetabek. Dia orang Padang, Sumatera Utara. Orangnya tinggi, perutnya besar, kalau ngomong suaranya bisa mendengungkan ruangan. Sedangkan Yamin, berbadan kurus, jangkung. Dia orang orang Lampung.

“Man, gila nih. Masa kita dimasukin ke tempat tentara begini. emangnya kita mau disamain,” ngoceh Yamin.

“Gue kesel. Kalo tahu tempatnya kayak gini, mendingan gue dapet peringatan dari kantor aja sekalian. Brengsek,” gerutu Rama Deny.

“Sialan, kok nggak ada kabar-kabar kalo tempatnya kayak gini. Kayaknya licik banget. Emangnya, kita ini apaan,” ucap saya ikut ngerutu.

Seorang tentara berkoar dari pengeras suara yang posisinya tak jelas keberadaannya. “Harap lima menit lagi semua berkumpul di lapangan.” Saya yang baru saja meletakkan tas, langsung bergumam kesal. “Ini outbound apa camp konsentrasi tentara Nazi,” ujar saya kepada orang di dalam barak.

Barak. Selama hidup saya yang kini berusia 32 tahun, baru kali ini saya bertemu yang namanya barak. Tempat yang sejak saya kecil, tidak akan pernah ingin saya temui. Bahkan sejak kecil pun, saya sudah berkomitmen kuat, tidak akan ada anakku yang menjadi tentara.

Ayahku adalah pejuang, tapi tidak pernah ingin dianggap sebagai tentara. Saya dilahirkan dari suku bugis di pedalaman Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Di kampung Cerekang yang konon asal muasal Sawerigading. Ayahku adalah pejuang, tapi sekarang ia tidak pernah percaya dengan tentara.

Satu prinsip yang selalu selalu pegang dalam hidupnya, “Jangan perlihatkan apa yang sudah kamu lakukan. Tapi biarkan orang lain akan tahu sendiri apa yang sudah kita kerjakan untuk negeri ini.”

Dari awal saya sudah membayangkan, Ciampea adalah tempat outbound yang menarik. Apalagi, sebelum-sebelumnya yang sudah pernah saya ikutin, outbound selalu sangat saya sukai. Bisa tertawa, berpikir cerdas, berpikir kerja sama, berpikir untuk saling memahami.

Tapi ternyata, bukan outbound. Saya lebih senang menjuluki “Cuci Otak”. Bagaimana mungkin kerja jurnalisme bisa disamakan dengan cara tentara. Tentara mengajarkan intelijen, wartawan tentang investigasi. Tentara mendapatan sumber bisa dengan cara penekanan atau kekerasan, tapi wartawan dengan cara yang lebih santun; wawancara dengan etika manusia.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu