Antara Budaya Indonesia dan Merlion Park


Hotel Fragrance, Middle RD, Singapura. Telepon kamar berdering begitu kencang. Saya terbangun dan melihat jam dari telepon seluler, pukul 05.00 waktu Singapura. Suara seorang resepsionis hotel menyampaikan, ada tamu bernama Talyta yang menunggu di lobi.

Sekedar membasuh muka dan rambut dengan air kamar mandi, saya bergegas menemuinya. Talyta, perempuan ini yang mengatur seluruh jadwal seluruh kegiatan Rumah Budaya Indonesia (RBI) 2013 di Singapura yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dia dari Dyandra Convex, Event Organizer (EO) yang menjadi mitra kegiatan tersebut. Acara itu digelar 30 November sampai 1 Desember 2013.


Sesampai di lobi hotel, saya sudah menebak bahwa perempuan yang duduk itu adalah Talyta. Tak ada tamu lain, selain dia. Ruangan pendingin lobi begitu dingin. Menggigil. Saya tengok sebentar jalanan Middle RD, ternyata jalanan masih sepi. Lagi-lagi gerimis mengguyur negara itu.

Talyta sosok yang tergolong bertubuh tinggi untuk ukuran perempuan, sekira 1.68 sentimeter. Dia tidak kurus-kurus banget, dan juga tidak terlalu gemuk. Kulit warna kecoklatan dengan wajah oval dan rambut lurus terurai. Dia mengenakan kebaya warna hijau daun. “Sorry banget. Kemarin tidak sempat ketemuan. Sibuk di venue (tempat kegiatan),” ujar Talyta.

Talyta menyodorkan jadwal kegiatan dan beberapa lembar uang dollar Amerika untuk saya gunakan selama di Singapura. Lega. Mungkin dari uang ini, bisa untuk mencicipi makanan ala Singapura atau sekedar sedikit belanja oleh-oleh untuk rekan dan keluarga. “Semoga bukan mie instans lagi,” itu dalam pikiran saya.

Setelah itu, Talyta pamit untuk persiapan keberangkatan semua rombongan menuju venue tempat acara RBI 2013. Rombongan penari dan seniman menginap di Hotel Amaris, yang hanya berjarak empat petak ruko dari hotel saya.

Budaya Indonesia dalam Ruangan
Pukul 8.00 waktu Singapura. Langit sudah tidak mengguyurkan gerimis lagi, ada matahari yang menerangi negara itu. Kegiatan RBI 2013 berlangsung di Sekolah Indonesia Singapura, di Marine Parade Rd yang berada di antara rumah-rumah warga Singapura. Masih sepi.

Saya mengamati setiap sudut sekolah itu. Sekolah itu berlantai dua. Terlihat cukup rapi dan bersih. Di mana-mana tergantung tulisan berbahasa Indonesia. Lantai dua sebelah kiri tergantung papan zona berbahasa Indonesia. Dan sebelah kanan, menjadi kawasan zona berbahasa Inggris.

Untuk acara RBI 2013, berada di aula sebelah kiri lantai satu. Cukup luas dengan panggung di sebelah kanan dari pintu masuk. Oleh penyelenggara, aula itu sudah tertata lukisan karya tiga pelukis Indonesia, Djoeari Soebardja, Bambang Pramudiyanto, dan Enggang Batu Ayau.

Tak hanya lukisan, juga terpajang beragam motif batik nusantara. Juga ada sarana pembuatan batik yang akan didemontrasikan pebatik asal Yogyakarta, Hendra Kuswara. Dalam buku panduan, akan berlangsung juga demo kuliner oleh Dony Riyadi.

Di aula itu, saya berkenalan dengan Miranti Andreadi. Perempuan yang di kartu namanya menjabat sebagai CEO Dyandra Convex. Dia bertubuh kurus dan tingginya sekira 1.60 sentimeter. “Ini kegiatan terakhir RBI 2013,” ujar dia. “Sebelumnya ke Washington DC dan Paris. Masih ada lagi ke Turki dan Timor Leste, tapi cuma sekedar dialog,” kata Miranti lagi.

Tak lama acara RBI 2013 akan dimulai. Duta besar Indonesia untuk Singapura, H.E Andri Hadi dan Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kemendikbud, Diah Harianti sudah dalam gedung.

Dalam pidatonya, Diah mengatakan, kegiatan ini sudah berjalan sejak tahun 2012 dan kerap mendapat antusias dari masyarakat Indonesia yang ada negara yang didatangi. “Karena kita menampilkan budaya Indonesia ke negara-negara di dunia,” ujarnya.

“Rumah Budaya Indonesia merupakan instrumen yang digunakan untuk meningkatkan rasa saling pengertian, menghilangkan kecurigaan dari negara lain. Tak hanya itu, sekaligus meningkatkan citra Indonesia di luar negeri,” ujar Diah.
Acara RBI yang digelar di Singapura, para undangan disambut Tari Lenggang Kipas. Kemudian dilanjutkan Tari Ngremo dari Jawa Timur dan Tari Rampai asal Aceh. Setelah itu, tamu undangan berkeliling mengamati display yang dipamerkan.

Setelah liputan kegiatan itu, Talyta memberikan sarapan siang. Ini menjadi makanan nasi dan lauk ayam berkuah pertama yang saya lahap di Singapura.

Tiba-tiba gerimis. Mumpung masih siang, saya izin untuk kembali ke hotel. Padahal berniat untuk mengunjungi Merlion Park dan Marina Bay. Dua tempat ini adalah ikon Singapura yang kerap dikunjungi para pelancong dari banyak negara.

Diantar seorang supir, saya menuju hotel dan kemudian bergegas berjalan kaki ke tempat wisata Singapura itu. Gerimis bukan masalah. Dari peta, Merlion Park dan Marina Bay, tidak terlalu jauh.

Melintasi tugu sejarah perang sipil era penjajahan Jepang yang dikelilingi perpohonan teduh. Melewati terowongan jalan pintas untuk menyeberang jalan. Dan di ujung sana sudah berdiri megah Espalanade Theather On the Bay atau yang dikenal dengan gedung durian. Karena atapnya persis kulit durian,

Di sebelah gedung teater, terhampar danau besar. Teduh dan sejuk. Dari sini terlihat, Patung Singa menyemburkan air dari mulutnya ke arah danau atau dikenal Merlion Park. Di balik Marlion Park, gedung pencakar langit berdiri megah. Dan dari kejauhan lainnya, juga terlihat tiga gedung tinggi yang bagian ujung atasnya dihubungkan oleh ornamen lain yang menyerupai biduk perahu atau dikenal; Marina Bay.

Di sini saya menikmati suasana. Melihat dua lelaki biksu berpakaian lengkap dan seorang pria turis asing yang saling bergantian memotret. Muda dan mudi berpasangan, serta ratusan orang lainnya yang duduk-duduk di tepi danau itu. Mereka tidak peduli gerimis.

Hingga menjelang senja, gerimis belum juga usai. Saya kembali ke hotel dengan berjalan kaki dan melintasi jalan yang tadi saya lewati.

Sambil berjalan, memikirkan makan malam yang harus saya santap di Singapura. Rasanya, perut sudah cukup kenyang oleh makanan nasi dan ayam tadi siang. Singgah di toko 7Eleven, mengambil dua mie dan bubur instans serta susu kedelai. Lagi, itulah santapan malam hari kedua di Singapura.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu