Middle RD, Singapura di pengujung
Desember 2013. Saya berdiri tak jauh dari Hotel Fragrance. Menikmati roti
berisi mentega dan kopi dari cangkir yang dipindahtuangkan ke bekas botol air
mineral. Pagi itu, usai berlari memutari tiga blok kawasan Bugis, Singapura.
Olahraga yang jalang dilakukan di Jakarta, apalagi dengan polusi udara yang
mengerikan.
Cuaca pagi itu tidak biasanya
bersinar terang. Namun jalanan belum banyak dilalui kendaraan pribadi. Hanya
sesekali bus dan taksi yang melintas. Udara tanpa polusi terasa nyaman
terhirupnya. Dari kejauhan di ujung perapatan, banyak orang berjalan kaki
menyeberang jalan dengan teratur.
Saya teringat pesan seluler yang
dikirimkan Talyta. Dia menyampaikan, rombongan akan berangkat pukul 08.00 waktu
Singapura menuju Sekolah Indonesia Singapura (SIS) dan kumpul di Hotel Amaris.
Hotel ini hanya berjarak tiga petak ruko dari hotel saya.
Talyta adalah perempuan yang
sibuk mengatur jadwal rombongan peserta Rumah Budaya Indonesia (RBI) 2013
bikinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia bekerja di Event Organizer (EO) Dyandra Convex
yang ditunjuk sebagai mitra pelaksanaan RBI tahun ini. Sebelum Singapura,
program ini menjelajah ke Washington DC dan Perancis.
Sesuai dengan perintah Talyta,
sebelum jam 08.00 waktu Singapura saya sudah di depan hotel Amaris. Seperti
hari sebelumnya, perjalanan cukup menyenangkan. Tidak ada rumah tempat tinggal
yang saya temui. Hanya gedung pencakar langit, rumah toko, dan hutan kota.
Rombongan sudah sampai di SIS yang terletak di Marina Parade RD dengan waktu
tempuh 25 menit.
***
Di kantin Sekolah Indonesia
Singapura (SIS), hampir semua meja makan sudah ditempati. Ramai. Saya bersama
dua orang pelukis, Djoeari Soebardja dan Bambang Pramudiyanto memilih duduk di
dekat meja yang sudah dipenuhi bumbu masak, kompor kecil, panci, pengorengan
dan sarana memasak lainnya. Disitu akan ada demo kuliner racikan Dony Riyadi.
Dony Riyadi sibuk memotong
bawang, mengeplek kunyit dan mengurai mihun. “Itu para pekerja ya? Keliatan
montok-montok,” tiba-tiba Djoeari yang duduk di sebelah saya bertanya sambil
tersenyum. Saya mengiyakan dan tertawa.
Pekerja asal Indonesia di
Singapura memang tidak sedikit. Pekerja pria sedikir, kebanyakan perempuan yang
bekerja di sektor rumah tangga dan rumah makan. Dari sekedar tukang masak, juga
menjaga anak dan orang tua.
Data dari Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia alias BNP2TKI yang dilansir
International Labour Organization (ILO) tahun 2012 menyebutkan, orang Indonesia
yang bekerja di Singapura mencapai 32 ribuan. Atau menempati posisi empat
setelah di Malaysia, Taiwan dan Hongkong.
Selain pekerja asal Indonesia,
banyak juga pekerja asal India. Di Singapura ada kawasan yang dikenal bernama
Little India. Pada 8 Desember 2013, sempat terjadi kerusuhan di kawasan itu.
Situs VoA Indonesia mengabarkan, sekitar 400 pekerja mengamuk dengan melukai 39
orang, termasuk polisi. Juga menghancurkan 25 kendaraan.
Ini kerusuhan kali pertama selama
40 tahun terakhir yang disebabkan tewasnya seorang warga India tertabrak bus di
kawasan yang memang dikenal sebagai tempat berkumpul orang India.
Populasi penduduk Singapura
mencapai 5,4 juta. Namun jumlah penduduk aslinya kisaran 3,84 juta, dan sisanya
adalah para pekerja atau pendatang. Pendatang berasal dari China, Melayu, India
dan keturunan Asia lainnya. Singapura dipimpin Perdana Menteri Lee Hsien Loong.
Yaya Sutarya, Kepala Sekolah SIS
kepada saya mengatakan, pekerja asal Indonesia kerap berkomunikasi dan membuat
komunitas daerahnya masing-masing. Namun sering ada pertemuan dalam komunitas
besar, untuk berdiskusi atau sekedar mengingatkan pekerja agar bekerja secara
profesional.
“Sebagai pekerja di luar negeri,
kita ingatkan soal tata krama, saling menghormati dan tidak melakukan hal-hal
yang membahayakan diri. Karena kita membawa kehormatan nama Indonesia di negara
lain. Menjaga citra Indonesia di mata dunia,” ujar Yaya.
Yaya minta izin untuk mendampingi
pekerja Indonesia yang sudah banyak berkumpul di halaman sekolah. Hari itu akan
ada pengarahan. Saya menuju kantin untuk santap siang masakan Indonesia.
Sepiring nasi, sayur tahu dan tempe mendoan dengan harga Sing$ 3.5 atau kisaran
Rp30 ribu.
Dalam aula SIS sudah berlangsung
pentas budaya yang ditonton para pekerja Indonesia dan tamu undangan lainnya.
Hanya sekedar memotret, saya keluar aula untuk melancong ke kota Singapura
mencari oleh-oleh. Tujuan utama ke kawasan Bugis Junction. Pusat pembelanjaan
yang di Jakarta mirip Tanabang.
Djoeari dan Bambang mendekat dan
kepada saya mengatakan, ingin kabur dari acara. “Besok sudah mau pulang. Masa
nggak sempat jalan-jalan ke Singapura. Aku juga pengen liat-liat. Pengen beli
oleh-oleh,” ujar Djoeari.
Sekitar pukul 02.00 waktu
Singapura. Beralasan ke hotel. Djoeari dan Bambang juga ikutan. Kami bertiga
naik mobil yang disewa panitia. Kepada panitia izin ke hotel, padahal belok
menuju Merlion Park.
Jeprat-jepret, kami bertiga
bergantian memotret dengan banyak latarbelakang sekitar Merlion Park. Dari
patung Singa, gedung pencakar langsung, Stadium Theater, Marina Bay, dan
jembatan tua peninggalan Belanda.
Sekitar dua jam kami berada di
kawasan itu. Lelah. Kami berjalan kaki menuju hotel yang hanya melintasi lima
blok. Setiba di hotel, kami berpisah. Saya lanjut ke Bugis Junction, sedangkan
dua pelukis ini kembali ke SIS membereskan segera lukisannya masing-masing.
Kawasan Bugis Junction tak jauh
dari hotel. Hanya dua perapatan lampu merah yang harus dilewati. Menuju ke
situ, melintasi rumah makan melulu. Setibanya, kawasan itu begitu ramai dan cukup
sesak oleh para pembeli. Penawaran harganya murah-murah.Ternyata, banyak orang
Indonesia yang melancong ke tempat itu.
Saya membeli sembilan tumpuk
coklat seharga Sing$ 30, enam kaos dengan harga Sing$ 20, dan tiga jam tangan
seharga Sing$10. Saya juga mencicipi durian Thailand yang cukup terkenal di
Singapura. Buah ini sudah dalam kemasan dengan harga Sing$8. Luar biasa
rasanya. Dagingnya banyak dengan bijinya yang kecil. Aromanya menyedapkan.
Hari sudah senja dan malam akan
tiba. Mulai gerimis. Saya kembali ke hotel dengan membawa keranjang belanjaan.
Masuk ke kamar dan rebahan sejenak. Tak lama terbangun, perut terasa lapar.
Bergegas menuju toko 7Eleven di sebelah hotel. Lagi-lagi, bubur dan mie instant
juga susu kedelai. Itu yang menjadi sarapan malam terakhir di Singapura.
0 Komentar