Panggil Aku Limbuk

Limbuk, nama lengkapnya Theodora Retno Maruti. Ia dilahirkan di Solo, Jawa Tengah pada 8 Maret 1947. Pendidikan formalnya dihabiskan di Solo, dari Sekolah Dasar Pamardi Putri, SMP VI, SMEA negeri 1 dan Akademi Administrasi Niaga. Pada akhirnya, ia berprofesi menjadi Dosen di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta. Juga menjadi penari cum penata tarinya. Dan mendirikan sanggar Tari Padnecwara.


Nama Limbuk adalah sosok dalam pewayangan. Anak Cangik, seorang dayang, puteri kerajaan. Limbuk ditampilkan sebagai perempuan berbadan gemuk dengan suaranya yang keras. Dikenal juga berkarakter genit dan selalu berhias. Tak pernah ketinggalan membawa sisir.

Dalam cerita pewayangan, Limbuk bermata bulat, hidung kepik, sanggul gede dikembangi, bersubang besar (Jawa: suweng blong), kain batik slobog dengan berkain dodot. Sosok ini juga, diperankan jenaka dan kerap dalam adegan minta kawin. Setiap ia berjalan, selalu ditabuh alat musik gendang yang menjadi ciri khas seorang yang berbadan besar dan bertingkah laku serba membuat orang tertawa.
Retno atau Limbuk, anak kedua dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Susiloatmodjo dan ibunya Siti Marsiyam. Ayahnya dikenal sebagai seorang dalang, penari dan dosen tari. Limbuk kerap diajaknya menemani ayahnya mendalang semalam suntuk untuk mengambilkan tokoh wayang yang hendak dimainkan ayahnya. Dari ayahnya juga, ia pernah menyepi ke makam pujangga Jawa, Ronggowarsito.

Usia lima tahun, Limbuk sudah dimasukkan ayahnya ke perkumpulan seni Baluwarti. Dengan senangnya, dari situ ia mulai mengenal tarian, gamelan, macapat, dan suluk. Saat di kelas III SD, ia sudah mempelajari tarian keraton bimbingan RT. Kusumokisowo. Juga dibimbing penari terkenal Laksminto Rukmi, selir kesayangan Pakubuwono X dengan tarian luar keraton, seperti ledek.

Ketika beranjak di SMP, Limbuk berkesempatan menari di Candi Prambanan saat pagelaran kisah Ramayana dengan peran sebagai Kijang Kencana, anak buah Prabu Rahwana yang memperdaya Dewi Sinta. Peran itu juga, akhirnya menjadi julukannya untuk Retno Maruti.

Presiden Soekarno, saat itu kagum dengan penampilan Limbuk sebagai Kijang Kencana. Maruti kecil, digendongnya oleh Soekarno dan ditempatkan di atas meja. Sehingga, semua hadirin bisa melihatnya secara langsung kepiawaian tarian Retno Maruti.

Sampai tamat SMEA, sang Kijang Kencana ini semakin tekun belajar menari. Padahal saat itu, menari hanya kesenangannya sehari-hari. Tak ada pikiran untuk menjadi penari professional. Cita-citanya yang diidamkan adalah menjadi seorang sekretaris. Itu pula yang akhirnya ia melanjutkan pendidikan di Akademi Administrasi Negara. Sambil kuliah, ia bekerja di Batik Danar Hadi,

Tahun 1964, Limbuk diundang menari di New York. Setahun kemudian, terpilih sebagai penari dalam misi kepresidenan ke Jepang. Sepulangnya, Limbuk akhirnya mulai tertarik. Pada tahun 1969, ia akhirnya menciptakan tarian Langendriyan Darmawan. Ini tarian kali pertamanya karyanya.

Tahun-tahun selanjutnya, Abimanyu Gugur (1976), Roro Mendut (1977), Sawitri (1977), Palgunadi (1978), Rara Mendut (1979), Sekar Pembayun (1980), Keong Emas (1981), Begawan Ciptoning (1983), Kongso Dewo (1989), Dewabrata (1998), Surapati (2001), Alap-alapan Sukesi (2004), dan Portraits of Javanese Dance (2005). . Tahun 2006, kreasi tarian bertajuk Calonarong dan tahun yang sama berkarya filmografi berjudul Opera Jawa.

Selain menari dan mengajar tari Jawa klasik di Institut Kesenian Jakarta, Retno juga seorang perias pengantin. Sebelumnya, dia pernah kursus rambut pada Rudy Hadisuwarno, dan kursus make up pada Martha Tilaar.


+++


Nama suaminya Arcadilus Sentot Sudiharto. Nama anaknya, Genoveva Noiruri Nostalgia Setyowati Retno Yahnawi.

Karena berbagai pengabdiannya itu Paku Buwono XII, diberi gelar Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum dan suaminya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Honggodipuro.

Di tengah kesenangan dan kreativitasnya menari, Retno menikah dengan sesama penari yang sudah dikenalnya sejak kecil, Sentot Sudiharto, di Osaka Jepang. Pasangan ini dikaruniai satu anak, Genoveva Rury Nostalgia. Sejak kecil, Sang Anak, diperkenalkan pada seni budaya. Walau bukan berarti anaknya diharuskan menjadi penari. Namun, kebetulan anaknya juga senang pada tari dan belajar menjadi koreografer.

Penghargaannya yakni; Wanita Pembangunan Citra Adikarsa Budaya (1978); Penghargaan Teknologi Seni Budaya Kalyana Kretya Utama dari Menristek BJ Habibie (1997); Citra Adhikarsa Budaya dari Citra Beauty Lotion dan SCTV (1994).

Juga mendapatkan Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kesenian dan Kebudayaan RI (2003); Perempuan Pilihan dan Maestro dari Metro TV (2003), Nominator Women of the Year dari ANTV (2004), Penghargaan Akademi Jakarta (2005) untuk Pencapaian dan Pengabdian di Bidang Kesenian/Humaniora.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu