Martiono Hadianto : Dari BUMN Singgah di PT. NPN

Ruang kerja untuk seorang bigbos PT. Newmont Pasific Nusantara (NPN) ternyata sederhana saja. Tak ada perabotan yang tampak mencolok mewah. Hanya seukuran sekira 5x8 meter yang dimuatin; seperangkat komputer di atas meja kerja yang berukuran 3x2 meter, dihiasi satu lukisan, sofa tamu biasa saja, lemari buku dengan sedikit isinya, dan meja kaca bundar.

Ruangan itu didiami Martiono Hadianto, Presiden Direktur PT. NPN yang ditapuknya sejak bulan Juli 2007. Kantornya berada di lantai delapan Wisma Rajawali, kawasan Mega Kuningang, Jakarta Selatan.

Dia terlihat berpenampilan sederhana. Ketika saya menemuinya, ia mengenakan kemeja putih dengan celana katun berwarna biru. Pada usia 62 tahun, kondisinya masih terlihat bugar dan sehat. “Saya tidak merokok, tidak pernah merasa stress dan sering olahraga,” ujarnya lelaki kelahiran Semarang, 20 September 1945.

Martiono adalah alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Kimia. Di kampus itu, dia aktifis Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB). Ia menikahi mahasiswa yuniornya sendiri, Hermieningsih.

Yuniornya ini ditaksir saat berlangsung lelang nama untuk mahasiswa baru di jurusannya. Semua gadis berdiri di atas panggung sambil berjalan ala seorang model di atas catwalk. Sebagai Ketua Ospek saat itu, ia berhak menaruh harga untuk para gadis dengan nama yang unik dan lucu. Ia lelang dengan harga Rp25, dan ternyata sebagai nilai tertinggi.

“Aku kasih nama ‘tempe bosok’,” tuturnya tersenyum. Ia akhirnya terpincut dengan gadis hasil lelang itu dan dinikahinya. Kini ia memunyai 3 orang anak. Ayahnya Martiono bernama Marsono, bekerja di Jawatan Perhubungan Darat dan ibunya bernama Siti Khadijah. Keduanya meninggal pada tahun 1986.

Martiono kecil, dulunya seorang olahragawan. Dia sering menjadi kontingen olahraga di sekolahnya. Ikut lomba lari, lompat jauh dan basket. Dan diam-diam, dia juga pernah juara II lomba vokalis lagu Elvis Presley tingkat Kota Semarang. Lagu andalannya, Don’t Be Crue. “Dulu saya juga ikut main musik, megang keclek-keclek,” ujarnya tertawa.

PT.NPN adalah perusahaan jasa pertambangan tembaga dan emas yang berkedudukan di Jakarta. Perusahaan ini bersama dengan PT. Tanjung Serapung mulai aktif beroperasi pada tahun 1996, yaitu di Minahasa, Sulawesi Utara. Kemudian bekerja sama dengan PT. Pukuafu Indah dan sebuah konsorsium pimpinan Sumitomo Corporation, mulai operasi di Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa pada tahun 2000.

Operasional kerja Newmont terdiri dari; PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) yaitu tambang tembaga dan emas di Nusa Tenggara Barat dan PT. Newmont Minahasa Raya (PT.NMR) yaitu tambang emas di Sulawesi Utara.

Inilah kali pertama dalam hidupnya dia memimpin perusahaan asing. Masa kariernya lebih banyak mengabdi untuk perusahaan milik negara alias BUMN. Posisi terakhirnya di BUMN sebagai Komisaris Utama Pertamina pada tahun 2005 menggantikan Laksamana Sukardi era kepemimpinan Menteri BUMN Sugiharto.

Di Pertamina, Martiono bukan orang baru. Pada tahun 1998 sampai tahun 2000, dialah yang menjadi Direktur Utama. Jabatan lain sebelum di Pertamina; Direktur Keuangan PT. Garuda Indonesia, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Komisaris Utama PT. PLN, PT. Telkom, dan pernah juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1992 sampai tahun 1997.

Setelah masa kariernya di perusahaan negara berakhir, Newmont justru meliriknya. Baru kali inilah, ada perusahaan asing yang mengambil orang dari Indonesia yang berlatar belakang mantan birokrat negeri ini. “Saya juga tidak menyangka, kok ada mantan birokrat yang diincar oleh Newmont,” tuturnya.

Saat diberhentikan oleh Menteri BUMN dari jabatannya sebagai Komisaris Utama di Pertamina, ia sebenarnya sudah pasrah untuk menikmati masa pensiunnnya dengan keluarga. “Saya sudah tua, jadi nggak kepikiran dipakai lagi oleh negara atau tempat lain,” ujarnya.

Di negeri ini, ia sudah merasakan jabatan birokrat penting setiap penggantian Menteri atau Presiden. Martiono orang pertama yang menjabat sebagai Dirjen BUMN era Presiden Soeharto. Kemudian dia angkat menjadi Dirut Pertamina “Tapi abis diangkat, kemudian diberhentikan. Dan begitu seterusnya,” ujarnya.

“Dan jabatan terakhir Dirut dan Dewan Komisaris Pertamina yang diangkat dan diberhetikan juga oleh Menteri BUMN Soegiharto di era Presiden SBY.” SBY adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Tapi rencana hidupnya itu, justru pindah haluan. Saat pelepasan jabatan itu, dia disalami seorang kawan lama, Rozan Anwar. Orang itu memberikan ucapan selamat dan mengatakan, “Bapak nampaknya tegar dan lebih banyak tersenyum walaupun harus diberhentikan,” ujar Rozan kepada Martiono. Rozan bukan orang Newmont, dia seorang yang punya banyak hubungan dekat dengan para penentu kebijakan di perusahaan itu.

Beberapa bulan kemudian, Rozan menelpon lagi dan menawarkan jabatan untuk Martiono di PT. NPN. Martiono tidak langsung mengiyakan. Karena belum mengenal secara detail, dia pun langsung mencari tahu tentang PT. NPN. Martiono cuma tahu, perusahaan ini sedang banyak dibicarakan dalam kasus dugaan pencemaran di Teluk Buyat , Minahasa, Sulawesi Utara, yang menjadi kawasan eksplorasi PT.NPN.

“Tidak semudah itu saya langsung menerima pekerjaan. Saya cari tahu dulu dari internet. Apalagi Newmont perusahaan asing. Saya tidak mau bekerja di tempat yang dikenal kulitnya saja. Saya juga perlu memahami isinya,” ujarnya.

Ia akhirnya menemui Bob Gallagher, Vice President for Asia Pacific Operations Newmont di kantor PT. NPN di Jakarta. Orang itu mengemukakan alasannya menawarkan posisi penting. Martiono dianggap sebagai sosok yang diperlukan untuk memimpin PT. NPN. “Newmont butuh sosok pemimpin yang mudah tersenyum dan menjalankan perusahaan dengan tenang,” ujar Bob kepada Martiono.

“Apa jabatan untuk saya,” tanya Martiono.

“Presiden Direktur,” jawab Bob. Ia tidak kaget. Dia hanya ingin memastikan kembali. Pada pertemuan terakhir dengan Rozan Anwar, posisi itu sudah disampaikan. Jabatan Presiden Direktur (Presdir) saat itu masih dipegang oleh Noke Kiroyan. Kini Noke sebagai Presiden Komisaris PT. NPN. Sosok Noke baginya, bukan orang yang baru dikenalnya.

Tanpa tendeng aling lagi, dia pun menanyakan gaji yang diperolehnya sebagai Presdir PT. NPN. “Saya perlu menanyakan itu. Itu, kan menyangkut profesional,” ujarnya. Ketika disebutkan jumlahnya, ia langsung menerimanya. “Ternyata angkanya menarik juga. Nilainya, rahasia dong,” ujarnya lagi sambil tersenyum.

5 Juli 2007, dia akhirnya diangkat menjadi Dirut PT.NPN menggantikan Noke dan langsung bekerja dengan banyak pekerjaan yang segera ditangani. Ada lima masalah yang dia catat, diantaranya adalah dugaan pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi Utara dan divestasi saham dan pinjam pakai lahan di kawasan eksplorasi PT. NNT di Nusa Tenggara Timur.

“Baru diangkat sudah mendapat tantangan pekerjaan yang cukup berat. Makanya, saya sering terbang ke Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi di Newmont Indonesia,” ujarnya.

“Bagaimana menghadapi semua masalah yang melanda di Newmont,” tanya saya.

“Semuanya harus saya selesaikan tanpa harus konflik. Harus diselesaikan dengan tenang. Seperti komitmen awal, saya bekerja berpegang prinsip menghadapinya dengan tenang dan senyum,” katanya.

Dengan prinsip tenang dan senyum itulah, dia menjalankan pekerjaannya. Hanya sesekali saja, dia bersikap tegas. Dia mengerti situasi, kapan waktunya tenang dan kapan saatnya harus tegas. Dia pun, kerap yang turun tangan menyelesaikan masalah di tengah masyarakat untuk menjelaskannya. “Tidak perlu pakai kekerasan,” ujarnya.

Reactions

Posting Komentar

2 Komentar

Anonim mengatakan…
Terima kasih telah membuatkan artikel tentang orang tua kami.

Sedikit koreksi,
Nama ibu adalah Hermieningsih Wahyu.

Salam
Anonim mengatakan…
Salam dari Perhimpunan Mahasiswa Bandung http://merdeka7.wordpress.com
Close Menu