Adalah Matahari

Hujan bulan Februari, tak kunjung reda. Langit selalu berwarna redup. Matahari hanya sekian detik saja memancarkan panasnya, tapi hujan bergelimpangan berhari-hari lamanya. Angin, petir, dan pohon bergerak mengerikan. Jalan-jalan Jakarta selalu macet berjam-jam. Kumbangan air, setengah tubuh manusia dewasa.

Anak kecil, justru senang. Mereka dengan riang berlari-lari mencari kucuran air yang lebih deras. Mereka menjatuhkan tubuhnya di jalanan, sambil mengayuhkan tangan dan kakinya bak orang berenang. Mereka tertawa riang, menyambut air langit yang turun dengan derasnya. Mereka bahkan, bernyanyi-nyayi senang sambil berjingkrat-jingkrat.

Hari sudah malam. Hujan belum juga reda. Saya berdiri di dekat rumah. Di sebuah kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rumah kecil yang di atasnya melintang kabel bertegangan tinggi. Rumah yang halamannya tidak lebih dari satu meter. Sebagian kecil untuk tempat sampah yang bawahnya meteran air milik Thames PAM Jaya.

Ponsel saya berdering isyarat nada pendek masuk. Seorang kawan lama dari Kalimantan Timur, mengucapkan, “Selamat menempuh hidup berpasangan yang kedua kalinya. Semoga, ini menjadi lebih berkah dibandingkan hidup berpasangan sebelumnya,”

“Terima kasih, hidup berpasangan adalah karunia. Dia tidak berjalan dengan sendirinya. Semua atas seizing dan ditentukan oleh pencipta bumi ini,” balas saya.

SMS itu menjawab pesan saya sebelumnya. Saya menyampaikan rencana pernikahan yang akan dilangsungkan pada hari Sabtu tanggal enam belas februari tahun dua ribu delapan. Tempatnya di Taman Asri Sragen Jawa Tengah. Pasangan saya bernama Nuryana Hastarani. Gadis kelahiran Sragen kelahiran 19 Januari 1976. Sedangkan saya kelahiran 19 Februari 1975.

Ini perkawinan saya yang kedua kalinya setelah gagal dipertarungan nikah yang pertama. Perkawinan pertama yang tanpa diberkahi keturunan dan sudah berjalan selama enam tahun lamanya, kandas di tengah arena. Di saat-saat biduk rumah penahan panas dan hujan sedang dibangunnya.

Dan Nuryana, belum pernah menikah. Gadis ini pernah bekerja di Jakarta selama enam tahun dan sejak 1 Januari 2008, masa kerjanya berakhir di proyek infrastruktur di bawah naungan Departemen Dalam Negeri yang berkantor di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dia adalah perempuan Jawa yang kali pertama saya kenal ketika menginjakkan kembali Kota Jakarta. Tempat yang didaku menjadi ibukota Indonesia yang melahirkan dan mendewasakan saya. Sumpah yang sudah saya ikrarkan sebelum meninggalkan Kalimantan Timur. Isi sumpah: Siapa pun Gadis Jawa yang saya kenal di Jakarta, itu harus menjadi pendamping hidup.

Malam terus bergulir. Azan Isya sudah lewat berkumandang setengah jam yang lalu. Saya kemudian duduk di bangku meja makan. Di meja itu, sudah biasa dihuni Laptop, gelas bekas bikin kopi tadi pagi yang masih menyisakan ampasnya. Toples kosong, asbak bertumpukan putung rokok, bungkus kosong rokok, roti dengan mentega, botol plastik minuman mineral, dan kabel data ponsel. Sumpek.

Dari kesumpekan itu, buka internet adalah pekerjaan mengasyikkan. Membaca dan menulis email, membuka situs berita dan chatting. Di sela chatting, saya menyapa perempuan bernama Siti. Dia adalah wartawan Bisnis Indonesia yang dulunya menjadi kontributor di Balikpapan, Kalimantan Timur, dan kini berstatus karyawan di perusahaan media itu.

“Man, aku doain perkawinan elu lancer-lancar aja,” ujar dia.

“Terima kasih,” jawab saya. “Elu datang ya,” tanya saya sambil memberikan tempat dan tanggal resepsi saya.

“Aku ada acara kantor juga. Abis jauh juga sih,” ujarnya, menolak.

“Ya, akhirnya diduluin lagi deh. Tapi gue nggak patah hati kok,” ujarnya. Saya membalasnya dengan emoticon YM bergambar tertawa.

Aku jadi ingat kisah perasaan Siti yang gagal. Berharap dengan seorang lelaki yang bekerja menjadi wartawan di Aceh. Dia terlambat menyatakan ‘kecintaanya”. Mungkin tidak wajar jika dia yang memulainya, maklum perempuan. Namun lamban laun, beberapa bulan yang lalu, lelaki itu mengirimkan undangan pernikahan dengan perempuan lain.

Namun, Siti pasti tidak sendiri. Saya, Andreas, Buset, Linda dan teman lainnya yang belum saya sebutkan, juga mengalami hal yang sama. Mereka gagal di perkawinan pertama. Semoga yang kedua, tak lagi menemukan kegagalan yang sama.

Kian larut malam, Jakarta masih saja turun hujan. Saya masih sendiri. Beberapa hari lagi akan melangsungkan pernikahan di suatu negeri yang berbeda dengan masa pernikahan sebelumnya. Sambil menanti cemas mengurai satu persatu waktu yang akan datang ada saatnya nanti. 16 Februari 2008.
Reactions

Posting Komentar

2 Komentar

Anonim mengatakan…
selamat yaaa atas pernikahannya. saya percaya, pilihan kali ini baik dan tepat :P Amin!

*cerita soal siti, emang boleh diposting di sini?
Anonim mengatakan…
wah selamat selamat mas :)
Close Menu