Andi Alifian Mallarangeng

Suatu siang di bulan Oktober 2004. Andi Alifian Mallarangeng berkumpul dengan keluarga di rumahnya di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur. Telepon selulernya berbunyi.

“Kamu besok datang ke Cikeas,” kata penelepon. Andi mengiya. Identitas penelepon itu tak asing buat Andi. Ia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Esoknya, Andi meluncur ke Taman Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana, SBY sedang sibuk menerima tetamu. Ia baru saja mendapat kepastian memenangkan pemilihan presiden. Para tamu gantian menyalami, memberikan ungkapan selamat.

Andi diarahkan ke ruangan kerja SBY. “Kamu saya angkat jadi juru bicara kepresidenan,” ujar SBY kepada Andi menerangkan maksud pemanggilannya ke Cikeas.

“Saya cuma senyum-senyum saja. Saya kira dipanggil ada masalah apa. Nggak tahunya disuruh jadi juru bicara. Langsung saya terima, dan inilah amanat berat yang harus saja jalani untuk negeri ini,” Andi berkisah.

Usai dilantik, Andi berjalan santai dari Istana Merdeka ke Istana Negara. Ia ditemani Sudi Silalahi. Mereka mengamati hampir setiap sudut istana. Andi tidak menyangka bisa leluasa mengamati seluruh kompleks kepresidenan. Tersenyum, Andi bertanya kepada Sudi. “Kita lagi mimpi nggak sih ada di istana?”

Sudi balas senyum, ”Iya, kita lagi mimpi kali nih.” Sudi didaku menjadi Sekretaris Kabinet.

Mereka serentak mencubit pipinya masing-masing. “Ternyata nggak mimpi,” ujar Andi. Mereka tertawa.

Sejak itulah, Andi tak pernah jauh dari sosok Presiden SBY. Ia bukan lagi pengamat politik. Tidak lagi mengurusi partai. Dan keinginannya untuk tetap menjadi dosen, ia pendam dulu.

Saya pertama kali bertemu Andi pada 1997 di aula Rektorat Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia memberikan ceramah umum tentang politik Indonesia dan pengalamannya di Negeri Paman Sam. Nama Andi belum terdengar luas di antara pengamat politik negeri ini.

Tahun 1998, Presiden Soeharto tumbang. Andi dan Ryass Rasyid membentuk partai baru dengan nama Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) di Jakarta. Saat itu, ia belum memiliki rumah di Jakarta. Ia wira-wiri Jakarta-Makassar untuk menjalani aktivitasnya.

“Sejak saat itu, terus ikut terlibat dalam arus besar proses tranformasi politik Indonesia. Terlibat di Komisi Pemilihan Umum (KPU), terlibat pembuatan undang-undang politik, kementrian otonomi daerah, dan sekarang jadi jubir,” ujarnya.

****************
Andi Alifian Mallarangeng dilahirkan pada 14 Maret 1963, di sebuah kota kecil, sekira 155 kilometer dari Kota Makassar. Persisnya di Ujung Bulu, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, sebuah wilayah berbukit-bukit.

Ia anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya, almahum Drs. Andi Mallarangeng, meninggal tahun 1972 akibat penyakit jantung sebelum masa jabatannya berakhir sebagai wali kota Parepare periode 1969-1972. Ibunya kini sudah berusia 70-an tahun, masih sehat. “Nenek yang sakit-sakit. Sudah tua. Katanya sih, umurnya sudah 104 tahun,” ujarnya.

Andi kecil setiap hari bermain sepeda. Ayahnya membelikan sepeda mini berwarna biru di toko sepeda di Jalan Tentara Pelajar, Kota Makassar. Ini hadiah kenaikan kelas tiga Sekolah Dasar (SD).

Di masa itu, tak banyak anak sebayanya yang memunyai sepeda jenis itu. Apalagi dengan fasilitas gear ganda. Ia begitu senang. Sepeda ini dibawanya ke mana-mana, naik gunung, muter-muter kampung, hingga pergi ke sekolah.

Sepedanya dipakai sampai Andi masuk SMP. Karena sudah tidak zaman lagi dan sudah agak dewasa, ia memodifikasi sepedanya agar sesuai dengan masanya. Stang sepeda diganti sendiri dengan stang sepeda balap. Ia sempat ingin ikut balap sepeda mini di Makassar. Ibunya melarang. “Takut kecelakaan, takut tabrakan. Pokoknya ibu saya tidak setuju.”

Setamat SMP, sepeda kenangan dari ayahnya diberikan kepada adiknya, Rizal Mallarangeng, yang kini dikenal sebagai pengamat politik cum peneliti dan memimpin lembaga Freedom Institute.

Di bangku SMA, ibunya membelikan hadiah Andi, sepeda motor merek Honda 70 cc berwarna merah.

“Karena mendapat ranking di kelas?”

“Bukan. Kalau ranking kelas, kayaknya nggak juga. Saya nggak pernah ranking lima besar. Kalau 10 besar, saya pasti masuk,” Andi, tertawa.

Motor hadiah itu ia ganti knalpotnya menjadi model trail. Kebetulan, di gudang rumah pamannya ada knalpot tak terpakai. Ia membawanya ke bengkel untuk segera diganti. “Bunyi motornya jadi, pokk…pokk…pokk…”

Baru duduk di kelas dua SMA, Andi hijrah ke Sekolah Pembangunan diYogyakarta. Ia punya target kuliah di Universitas Gajah Mada. Ia ganti motor balap merek Yamaha 100 cc. “Motor yang lama saya wariskan ke adik saya, Rizal.”

Di Yogyakarta itulah, ia kali pertama mendapatkan peringkat ketiga. Itu pun di tahun terakhir ia akan lulus sekolah. “Ha…ha…. Selama di Makassar tidak pernah dapet ranking 3. Di Yogya baru bisa dapatnya.”

Rizal adalah adiknya Alfian. Usianya selisih tiga tahun. Di mata Andi, Rizal adalah sosok yang tidak pernah mau kalah dengan kakaknya. Apa yang dilakukan oleh Andi, Rizal pasti melakukan hal yang sama. Andi dibelikan sepeda, Rizal minta juga dibelikan. Andi punya motor, Rizal juga harus punya.

“Saya kuliah di Amerika, Rizal juga kuliah di sana,” ujarnya.

Rizal, di mata Andi, dikenal pemberani. Saking berani, Rizal yang selalu berada di bagian depan kalau soal berkelahi. “Kalau ada anak yang lebih kecil dari saya dan suka meledek, itu tugasnya Rizal yang membereskannya.”

“Rizal, pukul tuh anak,” perintah Andi. “Eh…Rizal nggak pake nanya, langsung sikat.”

Andi masih punya dua adik lagi. Adik ketiganya bernama Zulkarnaen yang menjadi pengusaha alat-alat telemedia yang berkantor di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Adik bungsunya bernama Nina, seorang dokter kandungan yang sekarang tinggal di Pekan Baru.

Setamat SMA, Andi ikut tes perguruan tinggi di Universitas Negeri Surakarta (UNS) mengambil jurusan pertanian dan Universitas Gadjah Mada (UGM) memilih jurusan sosial politik (sospol). Dua kampus itu sama-sama menerimanya. Andi bingung. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan di UGM, dan mulai kuliah sejak 1981.

Di UGM tak ada budaya perpeloncoan untuk mahasiswa baru. Yang ia ingat, mendapatkan kuliah umum di lapangan sospol oleh Ashadi Siregar. Topiknya tentangUGM. Di tahun 2003, Andi diminta memberikan kuliah umum oleh Dekan Sospol UGM. “Dan tempatnya persis di tempat saya dulu duduk mendengarkan ceramah umum juga. Jadi ketawa sendiri,” ujarnya.

Tahun 1983, fakultasnya melangsungkan pemilihan umum untuk organisasi kemahasiswaan. Andi ikut mencalonkan diri. Ia kalah dan hanya menduduki jabatan sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sospol UGM. Dari situlah, ia kepincut dengan seorang gadis bernama Vitri Cahyaningsih, yuniornya di kampus.

Sebagai senior dan yunior, Andi punya strategi untuk mengaetnya. Vitri oleh Andi, kerap dilibatkan dalam berbagai kegiatan kampus. Lama-lama, Vitri luluh. Vitri kini menjadi istrinya dan pasangan ini dikaruniai dua orang anak: Gemilang Z.M Mallarangeng dan Gemintang Kejora Mallarangeng.

Vitri adalah gadis kelahiran Yogyakarta pada 14 Mei 1974. Di UGM, ia mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, sedangkan Andi jurusan Ilmu Politik. Vitri memeroleh Master of Science Home Economics, Merchandising, Marketing and Management dari Northern Illinois University, DeKalb, Amerika.

Kesibukan Vitri sekarang menjadi dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Nasional Jakarta, Komisaris PT. Megantara yang bergerak dibidang cargo-udara di Jakarta, Wakil Ketua Humas dan Publikasi di Dewan Kerajinan Nasional. Dia juga sibuk menjadi Pemimpin Umum Majalah Kriya Indonesia.

Setamat kuliah tahun 1988, Andi diterima menjadi dosen untuk Fakultas Sospol pada tahun 1988. Di tahun berikutnya, ia terpaksa meninggalkan kampus untuk melanjutkan pendidikannya di Northern Illinois University Amerika Serikat. Dan tahun 1997 itulah, ia mendapat gelar doktor.

Tahun 1997, ia kembali ke Indonesia dan langsung bertandang ke tanah kelahirannya. Ia sudah tak lagi menemukan sepeda kenangannya.

*************
Pagi, tahun 2007, di Istana Negara, Jakarta. Di Jalan Veteran, kendaraan bermotor sudah padat. Macet. Kontras suasananya dengan di halaman Istana Negara yang masih lengang. Untuk masuk ke kawasan itu, pengawasan begitu ketat. Di pintu masuk tamu, berdiri para penjaga istana berpakaian loreng lengkap dengan senjata. Mobil harus diperiksa dengan alat detektor.

Untuk masuk ke kompleks istana kepresidenan, tamu diharuskan meninggalkan identitas diri dan menjalani pemeriksaan yang lebih ketat lagi. Menanggalkan tas untuk diperiksa dengan alat detektor seperti yang ada di bandara-bandara. Meletakkan HP di keranjang yang sudah disiapkan. Barulah masuk ke pintu detektor badan.

Andi Alifian Mallarangeng berkantor di lantai dua gedung Bina Graha yang berada di sayap kanan istana. Ia menempati ruangan yang pernah dijadikan tempat kerja Presiden Soeharto yang selama puluhan tahun berkuasa. Sedangkan ruang kerja Wakil Presiden Soeharto, ditempati Dino Pati Jalal, juru bicara presiden urusan luar negeri.

Andi menerima saya masuk ke ruang kerjanya. Ia mengenakan setelah jas warna abu-abu dipadu kemeja dalaman berwarna putih. Dasi yang dikenakan bercorak garisan warna putih dan hijau. Ia tersenyum lepas. Wajahnya terlihat bersih tanpa dihiasi kumis dan cambang. “Ini dulu ruangannya Presiden Soeharto,” tutur dia.

Di ruangan kerja Andi, tak banyak perabotan. Ukurannya sekira 6 x 9 meter. Ada televisi layar datar ukuran 29 inci, radio tape compo ukuran besar, dan kulkas. Di dindingnya, hanya ada dua lukisan bergambar pemandangan. Di meja kerjanya, tumpukan dokumen tersusun rapi dan satu unit komputer desktop lengkap dengan mesin printernya.

Bangku tamunya berwarna cokelat, empuk. Lantai berkarpet merah. Tak banyak buku yang terpajang di ruangan. Salah satu buku tampak mencolok dengan judul berhuruf besar: Bugis. Di meja tamu ada cemilan.

“Tidak banyak orang yang punya kesempatan berada di tempat ini. Nanti kalau sudah selesai jadi jubir (juru bicara), kembali lagi ke kampus. Jadi pengamat lagi, ya…senang juga. Ini bukanlah kepuasan karena jabatan,” ujarnya dengan logat Sulawesi Selatan.
Ia tak pernah menyangka bisa menjadi orang kepercayaan Presiden. Andi kecil pernah punya cita-citanya ingin jadi Wali Kota dan ahli kimia, selain ahli pertanian. Ia juga pernah berpikir jadi dokter. Tapi dia tak tega melihat binatang dibelah-belah perutnya.

“Apa peran Jubir?” tanya saya.

“Saya harus menjelaskan kebijakan dan tindakan Presiden kepada publik agar bisa mengerti. Tugas lainnya, membantu Presiden menjalankan pemerintahan dengan baik. Kalau pemerintahannya menjadi baik, ini menjadi kepuasan sendiri menjadi Jubir.”

Di sela perbincangan saya dan Andi, tiba-tiba Dino Patti Djalal, Jubir Presiden urusan luar negeri, datang. Ia memberikan Andi setelan jas. Baru kali ini saya melihat langsung tampang Dino. “Elu pake baju ini aja,” ujar Dino. “Oke,” jawab Andi. Dino kemudian bergegas kembali ke ruangannya.

Andi tak membuat garis batas saat bergaul dengan para stafnya. “Staf di sini sama Pak Andi sudah biasa gaul. Biasa ngobrol. Bahkan Pak Andi sering ikut ledek-ledekan juga,” ujar Erwin, staf website www.presidensby.info yang kantornya bersebelahan dengan ruang kerja Andi.

Habis wawancara, Andi mengajak untuk makan sate. “Kita cobain makan Sate Afrika di Tanah Abang. Penasaran belum nyobain. Waktu itu kehabisan,” ajaknya.

Andi duduk di depan bersebelahan dengan supir. Di bangku tengah, kami berempat. Dua orang staf Bina Graha, saya dan satu lagi staf Rady A Gany. Nama terakhir anggota Dewan Pertimbangan Presiden alias Watimpres.

Sepanjang perjalanan, saya membayangkan akan bertandang ke restoran mewah. Sungguh tak disangka, ini tempat biasa saja. Letaknya di lapangan terbuka yang hanya diteduhi terpal. Bangku dan mejanya terbuat dari kayu.

Juru masak di sana tak menyangka, Andi yang selalu terlihat di televisi bersama Presiden, tiba-tiba mampir di situ. Seorang pekerja profesional yang saya kenal sedang makan di situ, juga tak menyangka. “Tadi juru masaknya bilang, Pak Andi dari istana mau datang. Gue tadinya nggak percaya. Nggak mungkin dia makan di tempat begini. Eh...beneran,” ujar teman saya itu.

“Wah, bisa dua porsi nih,” ujar Andi ketika potongan daging kambing satu tampah ditaruh di hadapannya. Ia makan dengan lahap. Satu tampah kami makan berbarengan.

“Pak Andi, salam buat Presiden,” ujar salah seorang juru masak usai ia menjumput uangnya untuk membayar makanan. Kami langsung bergegas untuk kembali ke Istana Negara.

Di tengah perjalanan kembali, ada pengalaman menarik yang membuat kami satu mobil harus tertawa.

“Bajaj di depan ini suaranya bersih dan tidak ada asapnya, ya,” tanya Andi kepada saya yang duduk persis di belakangnya. Bajaj dimaksud berbahan bakar gas. Saya mengiyakan.

Saat mobil yang kami bersebelahan dengan bajaj itu, tiba-tiba Andi membuka jendela mobil. Ia hanya memberikan acungan jempol kepada supir bajaj dan mengatakan, “Bang, bajajnya bagus. Suaranya bersih,” ujar Andi. Supir bajaj hanya mengganggukan kepala.

Tiba-tiba seorang perempuan yang menjadi penumpang bajaj itu langsung memberitahukan kepada supir bahwa yang menyapa itu adalah orang yang dikenal. Andi langsung membuka kembali jendela mobil dan menyapa. Si supir dan penumpang bajaj langsung melambaikan tangan. “Salam buat SBY,” teriak perempuan itu. [end]
Reactions

Posting Komentar

4 Komentar

Anonim mengatakan…
saya Taufiq, wartawan the jakarta post sekarang sedang ngambil masters di Northern Illinois Univ. sekolahnya Bang andi dulu. Good piece tapi yang bikin saya terkesan cuma makan sate di tanah abang. oh man saya kangen Indonesia dan makanan indonesia. setiap hari saya lewat tanah abang dr Istana tapi gak tahu ada sate itu entar kalau balik saya pasti kesana
Rusman Manyu mengatakan…
sate afrika itu dekat rumah milik belanda. Kayaknya sih, sekarang dipake untuk museum batik atau apalah namanya. Kalo dari arah karet, dia di sebelah kiri. Ajak gue deh, entar gue temenin. hehe...selamat kawan.
Adzan Yusuf mengatakan…
Bisa jadi motivasi buat semua orang,
hidup berawal dari lingkungan yang berbukit-bukit hingga menjadi bagian dari lingkungan kepresidenan.,
sebuah pencapaian yang betul-betul menagjubkan.
Anonim mengatakan…
Ya, walau sempat singgah di kursi pesakitan....
Close Menu