Budi Setiyono

Penganut Faham Babu


Lelaki ini tidak terlalu banyak bicara. Santai, tapi culun. Pakaiannya selalu diselipkan di balik celananya. Rambutnya pendek. Bisanya senyum-senyum melulu. Kalau belum mengenalnya, tampangnya serius-serius banget. Rokok menjadi andalan kalau sedang merenung.

Adalah Budi Setiyono dengan panggilan Buset. Saya mengenalnya, saat mengikuti workshop Majalah Pantau di Hotel Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Pantau mengundang sebagian kecil kontributornya untuk mengagendakan penerbitan kembali majalah itu yang sempat mati.

Usai makan malam ketika ada sesi diskusi, saya, Buset dan Taufik Andre, Taufik Wijaya alias TeWe, sedang menikmati nyanyian di lobi hotel. Sebagai seorang lelaki yang jauh dari hiruk pikuk kota dan di hawa dingin, melihat perempuan berparas manis, semakin menyegarkan.

Buset tiba-tiba mendekat perempuan itu, dan mengambil alih microphonenya. Ia meminta pemain keyboard mengiringi lagu berjudul Rapuh ciptaan kelompok Padi. Ia benar-benar menghayati setiap liriknya.

Kularut luruh dalam keheningan hatimu
Jatuh bersama derasnya tetes air mata
Kau benamkan wajahmu yang berteduhkan duka
Melagukan kepedihan di dalam jiwamu.

Syair selanjutnya, ia lupa. Ia minta diulang lagi musiknya. Saya tertawa. Perempuan manis itu juga tersenyum ke arah Buset. Raut wajahnya tiba-tiba memerah. Buset melanjutkan nyanyiannya yang sempat terhenti.

Tak pernah terpikirkan olehku
Untuk tinggalkan engkau seperti ini
Tak terbayangkan jikaku beranjak pergi

Betapa hancur dan harunya hidupmu

Sebenarnya ku tak ingin berada disini
Ditempat jauh yang sepi memisahkan kita
Kuberharap semuanya pasti akan berbeda
Meski tak mungkin menumbuhkan jiwa itu lagi

Usai lagu ini. Seperti seorang artis, saya bertepuk tangan. Wajah Buset cuma mesem-mesem dan kami pun berlalu. Menuju salah satu ruangan hotel itu. Di sana sudah berkumpul semua kontributor Pantau. Mereka membentuk formasi O. Nampaknya seru.

Awal 2006, saya akhirnya memutuskan diri untuk pindah ke Jakarta. Saya bertemu dengannya lagi di kantor Pantau di Kebayoran Lama. Sosoknya tetap saja tidak berubah. Kurus dengan rambut yang kerap sering basah. Jika sedang membaca koran, rokok dan kopi tak pernah jauh dari jangkauan tangannya.

Ia ternyata menjadi anak kost yang tak jauh dari kantor Pantau. Kamarnya lumayan untuk sekelas badannya. Ada TV dan buku yang tersusun rapi. Mencuci dan memasak sendiri. Hobinya, bermain kerambol.

Saya baru tahu kalau ternyata ia sudah pernah menikah. Nasib pernikahannya, ternyata sudah pecah di ujung tanduk. Sama seperti saya. “Man, mendingan gue mau cari babu aja,” ujarnya. Kami berdua tertawa.

“Kalau Babu, pasti lebih pengertian. Tinggal dipoles aja, babu pasti bisa lebih cantik. Wakakakakak,” Ia tertawa senang.


Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu