RA. Kosasih: Bertarung untuk Hidup

Pekan ketiga November 2009. Ijun mendapat kabar, RA. Kosasih masuk Rumah Sakit Int’l Bintaro, Jakarta Selatan. Malam hari, Ijun langsung meluncur dengan motornya. Ia mengenakan baju kaos, jaket, dan celana jeans.



Di ruangan type ’Merak’, kelas 3 kamar 260, rumah sakit itu, Ijun terkesima. Ia melihat RA. Kosasih yang mengenakan kemeja putih dan celana kain sudah berbaring di tempat tidur. Lemah. Namun, matanya masih jelas melihat tamu yang datang menjenguk. Dokter melarang RA. Kosasih diajak bicara. Ijun hanya menatapi selang infus dan alat oksigen yang menutupi mulutnya.

Ijun bukan keluarga RA. Kosasih. Ia mengenal RA. Kosasih sebagai seorang legendaris komik Indonesia. Ijun satu dari banyak pengemar komik yang tergabung dalam Komunitas Akademi Samali. Oleh kalangan komunitas komik, RA. Kosasih didaku sebagai Bapak Komik Indonesia.

RA. Kosasih juga memeroleh Anugerah Lifetime Achievement tahun 2005 dari konsorsium komik Indonesia. Pun di tempat kelahirannya, sebuah jalan menggunakan namanya: Jalan RA. Kosasih. Tahun 2008, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyematkan Satyalancana Kebudayaan.

Ijun mengenal langsung RA. Kosasih sejak tahun 2000 saat seminar komik di Jakarta. Sejak itulah ia sering sowanan, diskusi dan banyak bercengkerama dengan RA. Kosasih. Akrab. Tak ayal, melihat kondisi RA. Kosasih, Ijun pun kini terdiam. Sedih. Ijun mendatangi anak semata wayang RA. Kosasih, Yudowati.

“Gimana kejadiannya, Mbak,” tanya Ijun.

“Malam hari, nafasnya langsung sesak, badannya dingin sekali. Karena sudah tengah malam, jam 6 pagi bapak baru dibawa rumah sakit. Langsung masuk UGD,” tutur Yudowati.

“Sakitnya,” tanya Ijun.

“Kayaknya, paru-paru. Harus periksa darah dulu, nanti dari hasilnya baru ketahuan penyakitnya,” kata Yudowati.

Dari delapan hari perawatan, selama lima hari Ijun mendampingi RA. Kosasih di rumah sakit. Ia membantu menjaganya dari jam sembilan malam sampai jam enam subuh. Ini bukan kali pertama RA. Kosasih masuk rumah sakit. Pada 6 Januari 2009, ia juga sempat dirawat di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. “Ia satu-satunya sosok legenda komik negeri ini,” tutur Ijun.

****
Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, 4 April 1919, pasangan Raden Wirakusumah dan Rasmani melahirkan anak bungsu dari delapan bersaudara yang diberi nama: Raden Ahmad Kosasih atau disingkat RA. Kosasih.

Orangtuanya berdarah ningrat. Ia disekolahkan di Inlands School yang ditamatkannya pada 1932. Sejak kelas satu Inlands School, RA. Kosasih kecil senang membaca cerita Tarzan dan menjadi bacaan pertama yang digandrunginya. Kemudian sekolahnya belanjut ke Hollandsc Inlands School (HIS) Pasundan.

Tarzan adalah tokoh fiktif Amerika yang diciptakan Edgar Rice Burroughs yang mulai muncul sejah tahun 1912. Tarzan sosok anak bangsawan Britania yang ditinggalkan di Pantai Afrika. Ketika orangtuanya meninggal, Tarzan dibesarkan oleh kera-kera besar.

Dari kegandrungan cerita itulah, RA. Kosasih iseng-iseng menggambarnya. Hasilnya tak jelek. Ketika di HIS, keisengannya itu mulai mengarah serius. Buku catatannya sering menjadi korban. Selalu habis karena dipenuhi gambar-gambar.

Setamat dari HIS, RA. Kosasih tak ingin melanjutkan sekolah. Sebenarnya ia punya kesempatan menjadi pamong praja, namun ditolaknya. Karena menganggur, ia justru berkesempatan menyalurkan hobinya, menggambar dan menonton wayang golek. Untuk hobi terakhir, pulang pagi dilakukannya. Apalagi kalau tokoh lakonnya Arjuna, Bima, atau Gatotkaca. RA. Kosasih selalu terbayang-bayang dengan peran-peran itu. Ia sampai hapal semua cerita pewayangan.

Tahun 1939, RA. Kosasih melamar kerja sebagai juru gambar di Departemen Pertanian Bogor. Ia diterima. Tugasnya, menggambar hewan dan tumbuhan. Serangga yang digambarnya, persis sama. Walau ia harus terlebih dulu melihatnya dengan mikroskop.
Ketika Jepang ekspansi ke Indonesia tahun 1942, RA. Kosasih kelimpungan. Hidupnya tak karuan. Pekerjaan berantakan. Ia tak lagi mendapatkan komik-komik kegemarannya. Yang ia dapatkan hanya komik Flash Gordon dari bekas kertas pembungkus. Flash Gordon adalah sosok pahlawan fiksi Australia yang digambar Alex Raymond yang diterbitkan sejak tahun 1934.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Banyak peluang pekerjaan di koran-koran. Tahun 1953, ia melamar kerja menjadi komikus di harian Pedoman, Bandung. Diterima. Setiap hari RA. Kosasih membagi waktu. Siang bekerja di Departemen Pertanian, malamnya ia bekerja di Pedoman.

Pada tahun 1953, salah satu majalah terbitan Jakarta memuat iklan. Isinya, penerbitan Melodie mencari penggambar komik. RA. Kosasih tertarik, ia mengirimkan karyanya. Tatang Atmadja, pemilik penerbitan Melodi kepincut dengan karya RA. Kosasih dan menemuinya di Bogor.

Dari pertemuan itu, RA. Kosasih diberikan komik-komik Amerika. Dia diminta untuk meniru, namun harus dijadikan tokoh Indonesia. RA. Kosasih tertarik dengan superhero Wonder Woman terbitan King Feature Syndicate. RA. Kosasih menyulapnya menjadi tokoh Sri Asih.

Serial komik Sri Asih dirampungkan sebagai komik pertamanya. Sri Asih dikarakterkan sebagai superhero perempuan berkostum wayang. Memakai kain kebaya dan kemben. Rambutnya panjang dengan mata besar. Bermahkota giwang dan manik di dahi. Perempuan yang jago berkelahi, bertenaga kuat, dan bisa terbang.

Komiknya laku keras di pasar dengan cetak 3000 eksemplar. Honornya tak tanggung-tanggung, RA. Kosasih mengantongi Rp4.000. Jauh lebih besar dibandingkan honornya menjadi pegawai Departemen Pertanian yang hanya Rp150.

“Sukses komik pertama. Wah..semangat lagi bikin komik. Akhirnya bikin serial keduanya, namanya Siti Gahara. Ini pendekar. Seorang wanita,” tutur RA. Kosasih.
Sosok Gahara adalah plesetan dari Sahara. Ratu Kerajaan Turkana yang berpakaian Timur Tengah. Kostumnya, dengan perut terbuka, lengan baju sebatas siku, dan bercelana panjang. Keheroan perempuan ini, bisa terbang dan jago berkelahi. Musuh bebuyutannya, nenek sihir.

“Laku juga,” tanya saya.

“Ini juga laku keras di pasar. Apalagi Siti Gahara saya gambar dengan pakaian kayak aladin dari kisah 1001 malam itu,” ujarnya.

Pundi-pundi honor hasil komiknya mulai terus mengalir. RA. Kosasih tak tinggal diam. Ia terus berimajinasi. Selanjutnya RA. Kosasih menggambar serial Sri Dewi. Sosok yang dikenal sebagai dewi kesuburan yang oleh orang Jawa dan Bali identik dengan
Dewi Padi.

Pada serial ini, sosok Sri Dewi kontra dengan Dewi Sputnik. Pada komik ini, RA. Kosasih menggambarkan Sri Dewi merupakan perempuan dengan gaya tradisional dan Dewi Sputnik bersosok modern. “Saya ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa Sri Dewi tak bisa dikalahkan dan selalu menang,” ujar RA. Kosasih.

Dari larisnya komik, uang mengalir terus. Namun, ia belum juga menikah. Padahal, banyak perempuan yang ingin merebut hatinya. Tapi RA. Kosasih tak kepikiran untuk mencari pendamping hidupnya. Hingga pada 1950, pamannya menyuruh RA. Kosasih menikah. “Kamu mau saya perkenalkan perempuan. Cocok untuk kamu nikahkan,” ujar pamannya.

“Boleh, bawa saja. Saya ingin melihatnya,” ujar RA. Kosasih.
Esoknya, pamannya membawa seorang perempuan cantik. Namanya Lili Karsilah yang saat itu berusia 25 tahun. Dan RA. Kosasih berusia 31 tahun. RA. Kosasih langsung kepincut dan bersedia menikahinya. Setahun kemudian, RA. Kosasih dan Lili Karsilah menikah. Dari perkawinan mereka dikarunia dua orang anak. Anak pertama seorang lelaki diberi nama Kusumandana. Dan yang kedua, perempuan bernama Yudowati Ambiyana.

Hidup Kusumandana tak berlangsung lama. Tahun 1957 pada usia empat tahun, ia meninggal dunia terkena serangan demam. Kemudian dikuburkan di pemakaman Dreded, Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Dan tahun 1994, Lili Karsilah, istrinya meninggal dunia akibat terserang stroke dan asma. Dikubur di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.

Dengan komik, RA. Kosasih menafkahi keluarganya. Jika sedang berimajinasi, ia menolak untuk diganggu oleh siapa pun, termasuk istri dan anak-anaknya. RA. Kosasih bahkan tak segan-segan mengunci kamarnya. Hingga makan pun terkadang luput dari ingatannya.

“Bu, kalau ada tamu yang tidak penting. Bilang saja saya sedang pergi,” ujar RA. Kosasih kerap kepada istrinya jika sedang ‘semedi’ untuk menggambar. “Istri saya cuma bisa mengiyakan saja.”

RA. Kosasih bahkan tak ingin orang lain tahu mengenai dirinya yang tenar dari komiknya. Pun dengan wartawan. Apalagi dengan tetangga rumahnya. Ia selalu mewanti-wanti agar tidak memberikan alamat tempat tinggalnya. Tapi sepintar-pintarnya sembunyi, akhirnya identitasnya terbongkar juga. Seorang wartawan Kompas bernama Arswendo Atmowiloto pada 1970-an mengetahui alamatnya saat berada di Paris.

Arswendo langsung mendatangi rumahnya di Bogor. RA. Kosasih bersedia menemuinya. Dan wawancara berlangsung. Tidak lama kemudian, Kompas memuat tulisan tentang sosok RA. Kosasih. Sejak itu, pengemar komik buatan RA. Kosasih pun mulai berdatangan. Tetangga mulai menaruh hormat padanya. Bahkan, banyak pengemar perempuan yang mengirimi surat. Bermacam-macam isinya, ada yang memberikan apresiasi karyanya, sekadar menyapa berkenalan, bahkan tak sedikit yang mengajak menikah.

“Saat itu, semua surat saya baca sambil tersenyum. Kan saya sudah menikah. Masa mau menikah lagi. Ya...diabaikan saja,” ujar RA. Kosasih tersenyum.

Kesibukan di komik, membuat RA. Kosasih tahun 1955 mengambil keputusan berhenti menjadi pegawai Departemen Pertanian. Tahun 1960-an, kondisi politik membuat dirinya menghentikan dulu komiknya. Saat itu, PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengecam komiknya, karena dianggap berunsur ke barat-baratan. Tak ayal, tiras komiknya berkurang. Justru yang banyak beredar adalah komik-komik keluaran China.

RA. Kosasih tak tinggal diam, ia menyiasatinya dengan menggambar sosok wayang. Komiknya antara lain, Mundinglaya Dikusuma, Ganesha Bangun, Burisrawa Gandrung, dan Burisrawa Merindukan Bulan. Dua komik terakhir menjadi komik terlaris di pasar. Dan komik-komik RA. Kosasih kembali merajai pasar komik Indonesia.

RA. Kosasih akhirnya membuat komik Ramayana dan Mahabrata. Idenya dari bacaan Bhagawat Gita terjemahan Balai Pusaka. Bom. Angka penjualannya mencapat 30 ribu eksemplar. Tiras paling besar sepanjang sejarah komik Indonesia.

Di tahun-tahun selanjutnya, ia tetap menguasai pasar komik Indonesia dengan kembali membuat komik wanita superhero, Cempaka. Sosok perempuan berbaju loreng, kekar, tinggi dan seksi. Sosok Cempaka diilhami oleh sosok Tarzan. Sayangnya, komik itu tak laris seperti komik sebelumnya.

Ketika popularitas komik wayang menyusut, RA. Kosasih membuat komik berkarakter lain dengan imajinasinya sendiri. Ia beralih ke komik dari legenda. Misalnya, komik tentang Lutung Kasarung, Sangkuriang dan lainnya.

Tahun 1964, RA. Kosasih hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk penerbitan Lokajaya. Ia membuat serial Kala Hitam dan Setan Cebol. Lagi-lagi, ia tak seberuntung dulu. Komiknya hanya laku 2000 eksemplar. Empat tahun kemudian, kesehatannya mulai tidak stabil. Kosasi memilih istirahat setahun lamanya dan kembali ke Bogor.

Dua tahun setelah istirahat, tahun 1970-an, ia diminta oleh penerbit Maranatha Bandung untuk membuat komik ulang Mahabrata. Karyanya berbeda dengan gambar yang kali pertama dibuatnya. Tak syak lagi, hasilnya dianggap gagal.

Ia tak ingin gagal. Dengan sisa kekuatan imajinasi, ia terus menggambar. Tahun 1984, ketika sedang menggambar, tangannya gemetaran. Pensilnya sulit dikendalikan. Tangannya secara tiba-tiba membuat gambarnya menjadi berantakan.

“Sejak saat itu sampai sekarang, sudah benar-benar tidak pernah lagi menggambar. Tangan selalu menggigil. Sudah pasti, hasilnya jelek. Daripada dipaksakan, lebih baik berhenti total jadi pembuat komik aja,” ujar RA. Kosasih.

RA. Kosasih akhirnya kalah. Tahun 1994, ia menyatakan diri ‘pensiun’ dari dunia komik. Ia memilih duduk manis menikmati sisa hidupnya.


***
Senja menjelang akhir Januari 2010. Rumah sederhana berpagar besi hijau dan bertembok putih, terlihat sepi. Ukuran lebar rumahnya sekira 20 meter. Rumah itu nampak sudah tua. Catnya sudah kusam. Halamannya hanya ditumbuhi reremputan. Satu set bangku besi, mangkrak di dekat pintu.

Cukup lama saya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban dari yang empunya rumah. Tiba-tiba seorang lelaki keluar dari pintu garasi yang berada di bagian kiri rumah. Ia tak melihat saya berdiri di depan pintu bagian tengah rumah. Saya menyapa dari belakangnya. Lelaki itu menoleh.

“Mencari siapa,” sapa lelaki itu.

“Pak RA. Kosasihnya ada,” tanya saya balik.

“Anda sudah membuat janji,” tanya lagi.

“Belum,” jawab saya.

Ia kemudian meminta saya menunggu dan langsung masuk ke dalam rumah. Tak lama pintu tengah di buka. Ia mempersilahkan saya duduk dan meminta saya menunggu sebentar.

Sambil menunggu, saya mengamati rumah itu. Dari ruang tamu, bagian dalam rumah itu terlihat luas. Kursi tamu berwarna coklat lengkap dengan mejanya yang dihampari karpet berwarna krem. Di dindingnya terpajang ukiran kayu. Lantainya kuning. Di situ juga ada televisi berukuran sekira 21 inci dengan background lemari tamu yang dijejari barang-barang keramik.

Tak lama, seseorang lelaki tua melangkah dari pintu belakang yang tak jauh dari dapur. Ia mengenakan baju kemeja putih dan celana katun panjang biru. Tangan kanannya menggenggam tongkat terbuat dari besi untuk membantunya melangkah. Rambut kepala dan bulu matanya sudah memutih. Namun tatapan matanya masih tajam. Meski usianya senja, sesekali saja ia mengenakan kacatama.

“Gimana kabarnya, Pak Kosasih,” tanya saya, menyapa.

“Sehat dan beginilah keadaannya,” Ia duduk menghadap pintu dan mempersilahkan saya duduk.

“Setiap bulan masih harus periksa ke rumah sakit. Tuh, di Rumah Sakit Bintaro . Ngecek bagian dalam,” ujarnya sambil memegang dada kirinya.

Selain memeriksa kondisi tubuhnya, setiap hari di rumah sakit, RA. Kosasih harus mengonsumsi obat dari dokter. Tiada hari tanpa obat. Setiap usai periksa, ia memeroleh obat baru lagi. Dan begitu seterusnya sejak setahun belakangan ini.

Kepada saya, ia mengatakan, sakitnya adalah jantung. Bagian dadanya kerap sakit jika satu hari saja dia tidak mengonsumsi obat. Setiap harinya, empat jenis obat ditenggaknya. Ada yang diminum tiga kali sehari dan ada juga yang satu kali sehari. “Sehari harus minum air putih satu liter,

“Mungkin juga pengaruh usia,” ujar dia. Pada 4 April 2010, usianya mencapai 91 tahun.

Kondisi matanya masih cukup baik untuk pria seusianya. Pun langkah kakinya. Saat ia berjalan tanpa menggunakan tongkat, ia menapak masih cukup sempurna. “Tongkat ini hanya untuk membantu. Kalau kacamata, sesekali saja dipakai jika diperlukan,” tutur RA. Kosasih.

Sejak tahun 1990-an, RA RA. Kosasih sudah hijrah ke rumah anak keduanya, perempuan bernama Yudowati di daerah Rempoa, Ciputat, Jakarta Selatan. RA. Kosasih menempati satu kamar yang berada di lantai dua. Sedangkan rumah di Bogor, dijualnya. Alasannya, agar dekat dengan anak dan cucu satu-satunya.

Di rumah itu, saya ditemui anak perempuannya, Yudowati. Ia baru saja pulang kerja di Departemen Kehutanan, Jakarta. Ia mengenakan baju bermotif batik. Orangnya berbadan sedang, rambutnya sebahu, ramah. Yudowati berusia 50 tahun, suaminya bernama Sumarman berusia 67 tahun dan anak satu-satunya bernama Adinadra yang berusia 22 tahun.

Kepada saya Yudowati mengatakan, ayahnya sudah tidak dibolehkan banyak bicara. Karena akan terjadi pengeringan cairan pada bagian paru-parunya. Penyakitnya tidak boleh kekurangan dan kelebihan air putih. Untuk itu, ayahnya tidak boleh jauh dari air minum.

“Kami sangat mengawasi kesehatannya. Maklum, biaya pengobatannya tidak murah,” tutur Yudowati.

Saat RA. Kosasih masuk RS Bintaro pada Januari 2009, dana yang disiapkan mencapai Rp15 juta. Dan ketika masuk rumah sakit itu kembali pada November 2009, mengeluarkan dana kisaran Rp18 juta.

Para penggemar komik tak tinggal diam. Apalagi diketahui, RA. Kosasih keluar dari rumah sakit karena keluarganya tidak punya biaya lagi. Para komunitas komik Indonesia tak tinggal diam, mereka menggalang dana untuk kesembuhan RA. Kosasih. Dari daftar donasi, Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman turut menyumbang Rp2 juta.

Untuk donasi lainnya, bisa melalui rekening di Bank Central Asia (BCA) dengan nomor rekening : 2281288620, atas nama Yudowati Ambiyana. Nomor telepon; 081210033049.

Setiap awal bulan, RA. Kosasih harus periksa ke dokter. Dan setiap periksa, ia mendapatkan obat baru yang habis setiap bulan sekali. Biaya periksa dan obat-obatan, Yudowati harus menyiapkan uang sekira minimal sejuta.
“Bapak masih dapat royalti,” tanya saya.

“Tidak,” jawab Yudowati. “Saya tidak tahu, bagaimana kesepakatannya dulu antara penerbit dengan bapak.”

“Dulu mana ada royalty-royaltian. Kita dibayar sesuai dengan pesanan. Kalau sekarang kan enak, ada royalti,” ujar RA. Kosasih menyela.

“Di kasih pas kita yang minta sendiri. Atau pas ada yang sedang ke Bandung. Kalau tidak minta, ya tidak pernah dikasih. Kesannya, kami mengemis aja. Tapi biar aja, kan penerbitan komik bapak dulu masih terus cetak dan tetap laku,” ujar Yudowati.

Tiba-tiba RA. Kosasih berbicara. “Pengennya cepat dipanggil Tuhan saja. Supaya cepat selesai,” tutur dia.

Yudowati menyela. “Itu urusan Tuhan, Pak,” ujar Yudowati kepada RA.RA. Kosasih.

“Bapak ini dari keluarganya punya keturunan berumur panjang. Jadi tidak aneh kalau sampai sekarang masih kelihatan segar,” ujar Yudowati kepada saya.
Reactions

Posting Komentar

3 Komentar

Anonim mengatakan…
hai Rusman, salam kenal. nama saya Retno. saya penggemar komik Mahabarata karya Bapak RA Kosasih. terima kasih banyak sudah berbagi info tentang Pak RA Kosasih. Yang ingin saya tanyakan adalah: apakah saat ini beliau masih cukup sehat? Saya mencoba mencari informasi terkini tentang beliau di internet dan tidak menemukannya. Semoga Anda mau menyempatkan waktu untuk menjawab pertanyaan saya. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.

Salam,

- Retno -
Rusman Manyu mengatakan…
Retno, maaf baru membalasnya. Ada gangguan pada sistem moderasi. Soal Kosasih, saya terakhir bertemunya setahun lalu. Kondisinya, yang seperti saya tulis. Kelihatan seger, padahal udeh sakit-sakitan. Saya akan berikan kontak anaknya : namanya Mbak Yudhowati: 081210033049
sebbyforever mengatakan…
innalillahi wainnalillahi rojiun, beliau telah berpulang.. beristirahatlah dengan tenang pak..
Close Menu