Kabar dari Kampung PKI Argosari

Gapura terbuat dari kayu selebar 3 meter, tertancap di ujung jalan. Itu pintu masuk menuju Kelurahan Argosari, Kutai Kertanegera, Kalimantan Timur. Jalan masuk daerahnya belum beraspal. Tak ada rumah penduduk. Sunyi. Sejauh mata memandang, hanya ditemui rumput ilalang. Seperti tak ada kehidupan.



Sekira satu kilometer, baru ditemui rumah penduduk. Kebanyakan terbuat dari kayu dengan atap seng. Sedikit rumah bertembok batu beratap genting. Setiap penduduk yang dijumpai, matanya tajam dengan tatapan menyelidik. Seakan ingin tahu, jika ada orang asing yang masuk ke wilayah itu.


Karman sopir angkutan umum yang saya sewa untuk mengantar ke Argosari. Awalnya ia sempat bingung mendengar nama Argosari. Ketika menyebutkan daerah pengungsian orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia tersenyum. “Kalau tadi nyebutnya Argosari orang PKI, saya pasti tahu. Daerah itu lebih dikenal sebagai kampung PKI,” ujar dia.

Saya mendatangi rumah Ismari. Ternyata masih seperti empat tahun yang lalu. Dinding rumah bata dengan atap seng, memasak dari kayu, dan masih saja rumahnya diterangi lampu tempel berbahan bakar minyak tanah. Ia dengan istrinya, menempati rumah yang paling berjauhan dengan tetangga lainnya. Menyendiri.

Ismari, dulunya adalah tokoh Serikat Buruh Pertamina yang menjadi underbouw PKI. Kini berusia 78 tahun. Istrinya, Sukarmi usianya 70 tahun. Di rumah itu, mereka hanya hidup berdua. Keduanya nampak sehat. Ismari berbadan kurus dan tidak tinggi-tinggi banget. Sedangkan istrinya, lumayan tinggi dan badannya sedang saja. Di usia senja, pasangan ini mampu berjalan kaki untuk mendatangi rumah tetangga dekatnya sejauh dua kilometer.

“Tidak berubah, Nak. Masih seperti yang dulu. Masih hidup jauh dari rumah warga lainnya. Ini juga terancam digusur. Kondisi kami masih tetap sehat. Cuma pendengaran yang sudah tidak peka kayak dulu lagi,” tutur Ismari.

Tak hanya Ismari, sekitar 175 tapol lainnya yang menjadi tertuduh sebagai anggota PKI di Kalimantan Timur, juga bermukim di kawasan seluas 2.000 hektare itu sejak tahun 1977. Hanya Ismari yang ditempatkan paling jauh dari warga Tapol lainnya. Yang lainnya, hidup berdekatan.

“Kalo mau charge baterai handphone, mesti jalan kaki dulu ke rumah tetangga. Supaya hemat, cuma bisa mengirim dan menerima SMS saja. Kalo nelpon, langsung lowbat,” ujar Ismari.

Mereka direlokasikan ke tempat itu oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamtib yang dibentuk setelah peristiwa penculikan jenderal tahun 1965 di Jakarta. Mayjen Soeharto yang menjadi komando pertama. Dan pada tahun 1977, pelaksana tugas hariannya diserahkan dari Presiden Soeharto kepada Laksamana Soedomo.

Dulunya, kawasan itu adalah hutan belantara. Tak ada penghuni sama sekali. Wilayah itu masuk ke wilayah Desa Amborawang Darat, Samboja. Tahun 2002, oleh Pemerintah Kutai Kertanegara, statusnya berubah dari desa menjadi kelurahan. Para eks tapol yang membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan kayunya dijadikan rumah. Hasil bertaninya, dijadikan makan sehari-hari.

Kehidupannya eks tapol mendapat pengawasan yang sangat ketat dari tentara. Dulunya, ada pintu palang terbuat dari besi yang menjadi posko pengawasan hidup mereka. Keluar kawasan, harus mendapatkan izin dari tentara penjaga. Tak ada komunikasi dengan masyarakat luar.

“Dulu benar-benar sangat terisolasi. Tak bisa keluar dari hutan. Setiap hari harus wajib lapor di posko pengawasan tentara. Nama Argosari saya yang usulkan. Artinya daerah pembuangan,” kenang Oentong Suyanto.
Oentong adalah seorang pria kelahiran Sangasanga, Kalimantan Timur yang kini berusia 69 tahun. Tubuhnya tegap dengan rambut dan janggut yang seluruhnya sudah beruban. Ia memunyai 5 putra dan 2 putri. Istrinya bernama Suripah yang berusia 54 tahun.

Rumah yang ia tempati bersama istrinya berada di perkampungan yang saling berdekatan dengan eks Tapol lainnya. Rumahnya sudah semi permanen bertembok batako, beratap genting dan juga dilengkapi listrik. Jarak dengan rumah Ismari sekira dua kilometer.

Ia satu dari 37 orang tentara yang kali pertama yang bermukim di pengungsian. Ia berpangkat terakhir Kopral Dua yang bertugas di Batalyon Infanteri (Yonif) 611 Kodam IX Mulawarman, Kalimantan (sekarang Kodal VI Tanjung Pura). Ditangkap 16 Maret 1970 dan dibebaskan pada 12 Desember 1977.

Kisah hidup ironisnya di "pembuangan" Argosari dimulai sejak tahun 1977. Ia bersama 200 warga sipil yang juga dituduh sebagai anggota PKI harus menempati kawasan hutan. Oentong dan pengungsi lainnya, tak tahu menahu kasus penculikan jenderal yang terjadi di Jakarta pada tahun 1965.

“Selain menjadi tentara, saya juga senang bermain ludruk. Gara-gara berkesenian itulah, saya akhirnya ditangkap dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota PKI. Dan benar-benar tidak tahu menahu tentang PKI. Tapi terkena juga imbasnya,” tutur Oentong.

Oentong mengatakan, pada tahun 1980 sudah secara resmi dinyatakan bebas. Namun ia bingung. Kata dia, hingga saat ini belum ada pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah. “Sampai sekarang, posisi sebagai tentara tidak jelas. Karena tidak pernah menerima surat pemecatan,” ujarnya.

Kini, ia tetap menjalani hidup di pengungsian. Berharap dari bantuan anak-anaknya yang hidupnya sudah berpisah dengannya. “Kebutuhan sehari-hari sekedarnya saja. Makan dari hasil berkebun, bantuan anak, atau sesekali bantuan dari pemerintah,” tutur Oentong.

Hidup belum nyaman, kini warga eks tapol Argosari dirudung gundah. Kian tak tenang. Sejak Mei 2008, Gubernur Kalimantan Timur, Yurnalis Ngayoh menyetujui keinginan Kodam VI/Tanjung Pura untuk menjadikan sebagian tanah areal proyek resetlmen dan pembinaan tahanan G30S/PKI golongan B tahun 1977 untuk dijadikan latihan militer.

“Setiap saat terdengar letusan tembakan. Banyak penduduk yang usianya sudah tua merasa ketakutan. Mereka masih trauma dari hal-hal militer. Setiap hari, bawaan tidak pernah tenang. Sudah protes, tapi tak punya daya melawan,” ujar Oentong.

Usianya yang senja, penyakit maag dan jantung membayangi buruk hidupnya. Istrinya mengidap penyakit kencing manis. Hidup pasangan ini dihabiskan untuk kontrol kesehatan di Puskesmas atau di rumah sakit. Ironisnya, program kesehatan untuk warga miskin tak pernah diterimanya. Oentong dan lainnya menanti kabar kematian dirinya.
Reactions

Posting Komentar

8 Komentar

novi rahantan mengatakan…
latihan militer dekat pemukiman penduduk.. wow???!!!???
Anonim mengatakan…
Kenapa ya nggak ada yg posting komentar disini? apa pada nggak perduli dgn nasibnya mereka..? saya rasa masih banyak daerah daerah terpencil yg dijadikan "penjara alami" utk para "tahanan politik" informal... terima kasih untuk artikelnya, semoga banyak yg terbuka matanya dan merasa peka terhadap tema seperti ini.
Hujan dan puisi mengatakan…
tulisan ini menggambarkan betapa mirisnya nasib orang yang tidak bersalah di negeri sendiri, "terpenjara" sementara yang berhasil mengakses uang negara justru bebas berkeliaran menghambur-hamburkan uang tanpa "pengadilan dan penjara"
Hujan dan puisi mengatakan…
sungguh ironis, tulisan ini menggambarkan kekejaman, tidak berperikemanusiaan, hanya kematian yang mereka tunggu, mereka sudah tidak berdaya kenapa masih di isolir? penjara tanpa pengadilan? berbeda sekali dengan politisi dan koruptor yang berhasil mengakses uang negara malahan dibebaskan berkeliaran jalan2 keluar negeri menghambur2kan uang.... **negeriyanganeh denganpimpinanyanganehpulak!!!
Anonim mengatakan…
saya bingung karena saya tidak begitu mengerti sejarah,,,,,dan saya pun tidak tahu tentang PKI,,,yang saya dengar PKI itu jahat, but idont think so,,,,,cause i don't know....tapi kalo pernyataan pa oentung itu saya merasa prihatin dan sedih melihat fenomena ini,,,,yang saya tahu fenomena ini pernah saya dengar dari beberapa teman yang mengatakan bahwa para Korban Mr.S,,,mengalami penderitaan lahir dan bathin,,,yang menyisakan kepedihan mendalam hingga menjadi trauma....tetapi seperti tidak ada yang perduli......padahal tidak semua orang yang ditangkap sebagai PKI adalah PKI,,,
semoga Keadilan itu bisa segera mereka rasakan.............
Anonim mengatakan…
Gara2 suka main ludruk, di sangka underbow pki. Barangkali angota lekra.
Unknown mengatakan…
sapa suruh ikut pki.
pki itu tidak beradab
kalu koruptor tidak di tangkap karena dia bukan pki.makanya belajar sejarah biar tau ap itu yg dinamakan PKI..
Puguh P. S. Admaja mengatakan…
Saya ini film maker. Kalo cerita Kampung PKI saya angkat ke film, kira-kira saya dituduh PKI nggak ya?
Close Menu