Buku : Berawal dari Entrok

Satu rumah di Magetan, Jawa Timur, sedang pada sibuk menata. Dari yang pasang janur kuning hingga menata kursi. Rumah itu kelihatan marak. Para pria sibuk mengatur tenda dan yang perempuannya sibuk di dapur. Saat itu, akan ada persiapan perhelatan pernikahan yang izabnya akan berlangsung di malam harinya.


Siang hari di penghujung tahun 2008. Satu kamar pengantin yang belum beres, Rata PenuhOkky dan neneknya, Sainem duduk di kasur. Wajah Sainem nampak serius sambil menatap Okky yang hanya hitungan jam akan melepas masa lajangnya. Kelihatan sedih. Seakan-akan Sainem ingin memberikan kata-kata penting untuk cucu yang akan menjadi seorang istri.

“Saya cuma bisa ngasih doa. Tidak bisa ngasih apa-apa buat kamu,” tutur Sainem dengan bicara rendah.

“Iya. Doa saja sudah cukup,” jawab Okky.

Okky terkesan dengan ucapan neneknya. Di benak Okky, Nenek ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk dirinya. Tapi, belum mampu. Okky menyadarinya. Dan yang diberikannya saat itu sudah lebih baik dari hadiah-hadiah lainnya.

“Doakan juga, semoga kehidupan nenek bisa pulih kembali seperti dulu,” ujar Sainem lagi kepada Okky. Okky mengiyakan.

Obrolan berlanjut. Sainem bercerita tentang hidupnya di masa dulu. Ketika ia hidup dari mengupas kulit singkong sampai ia menjadi seorang perempuan yang mapan. Sainem bercerita, entrok yang membuat dirinya ingin maju dan berusaha untuk mengenakan di tubuhnya.

Cerita itu, bagi Okky adalah membosankan. Setiap bertemu neneknya, itu lagi yang dijadikan semangat hidupnya. Bahkan saking bosannya, Okky pun hafal betul alur ceritanya. Dan dari situ juga, tiba-tiba ada keinginan untuk dirangkai menjadi cerita. Okky mulai merekontruksi ulang alur cerita dari nenek dan semua keluarganya.

Hasil rekonstruksinya, terbit novel berjudul “Entrok” yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel setebal 288 halaman ini tak mudah diterbitkan. Okky membawa sendiri tulisannya dan diserahkan langsung ke sekretaris Gramedia. Enam bulan lamanya Okky menanti, dan akhirnya cerita Entrok dinyatakan akan diterbitkan. “Selama tiga bulan langsung dikerjakan,” ujar Okky.

Okky bernama lengkap Okky Puspa Madasari. Ia sosok perempuan berjilbab yang sebelumnya bekerja menjadi seorang jurnalis di Jakarta. Novel yang dibuatnya adalah rangkaian dari kisah nyata kehidupannya sendiri. Istilah Entrok adalah padanan kata dari BH alias kutang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi kutang adalah pakaian dalam perempuan untuk menutupi payudara.

Dari entrok, ternyata membawa cerita panjang. Penulis menguraikan entrok sejenis barang yang identik dengan kemapanan seseorang. Karena entrok juga yang membuat seseorang terpacu berusaha menaikkan derajat keluarga. Namun gara-gara entrok, setiap hari harus berurusan dengan tentara.

Alur novel “Entrok” ini, diawali tentang filosofi entrok. Sarana penutup dada ini, pada masa-masa dulu memang tak sembarang dikenakan oleh seseorang. Seakan menjadi barang kemapanan dan jadi kebanggaan bagi perempuan yang mengenakan. Entrok ternyata menjadi inspirasi tokoh "aku" untuk berani tampil beda dengan lawan jenisnya.

Karena entrok, tokoh "aku" yang seorang perempuan itu harus nekad menjadi kuli panggul pasar. Harus berbaur dengan pria-pria berbadan besar. Dan tidak pernah menyerah memikul untuk mendapatkan uang recehan. Dalam pikiran tokoh aku, hanya berharap recehan itu bisa membeli entrok.

“Tak pernah ada cita-cita lain yang diturunkan orangtuaku selain bisa makan hari ini. Tapi aku menyimpan harapan dan mimpi. Setidaknya untuk entrok. Cukup dengan harapan itu saja aku bisa melakukan apa saja”. (hlm 45).

Novel ini cukup menarik untuk membuka kembali ingatan lama fase kehidupan negeri ini. Fase yang mengarah kepada kebungkaman ekonomi dan politik ketika Presiden Soeharto berkuasa setelah meruntuhkan Soekarno. Kondisi politik yang waktu bisa menjadi instan untuk kemenangan partai politik Golongan Karya,

Penulis memaparkan secara gamblang peran tentara yang memihak kepada kekuasaan melalui partai Golkar. Tentara dianggap sebagai simbol yang berjuang, maka punya hak semaunya. Tentara dianggap berjasa, maka punya hak mengintimasi masyarakatnya. Jika melawan, langsung dicap sebagai PKI. Konsekuensinya, masyarakat takut dipenjara dan disiksa.

“Sudah yo, Mbakyu, Kang, sudah beres urusan. Kalian tadi belum nyoblos, to? Sudah sekarang giliran kalian. Jangan lupa yang gambarnya pohon. Kalian bukan PKI,to? (hlm 65).
Dan karena entrok-lah, tokoh Marni dalam novel ini, yang tadinya hidup dari menjual panci keliling akhirnya beralih menjadi seorang rentenir. Memberikan pinjaman kepada orang lain dengan mengenakan bunga yang tinggi. Dari bunga pinjaman itulah, ia menjadi keluarga mapan. Keluarga terpandang di kampungnya. Tapi menjadi korban pemerasan oleh tentara dan aparat desanya.

Lamban laun, usaha rentenir Marni bangkrut. Ia menuding perbankan yang membuat bangkrut usaha rentenirnya karena memberikan bunga pinjaman rendah kepada pelanggan-pelanggannya. Apalagi anaknya, Rahayu, harus bebas dengan uang jaminan 10 juta rupiah karena dianggap PKI.

Soal kepercayaan, juga menjadi bagian yang menarik dari novel “Entrok”. Cerita orang tua dan anak yang memunyai keyakinan berbeda. Marni meyakini yang memberikan rezeki dan membuat hidupnya sukses atas bantuan “Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa”. Juga, Marni kerap memberikan sesaji kepada leluhur yang dianggap “Maha Kuasa”. Bagi Rahayu, itu adalah dosa. Namun, Marni tetap keukeuh dengan keyakinannya sendiri.

Novel ini secara utuh cukup menarik. Walau ada kata yang lengah dipergunakan oleh penulis, namun tidak mengubah esensi dari alur cerita. Juga ada beberapa cerita yang berulang-ulang, khususnya tentang makna entrok. Mungkin maksud penulis, dilakukan untuk memperjelas makna.

Novel "Entrok" akan membawa pembaca ke ranah pencerahan tentang hidup dan penyadaran diri. Bagi generasi masa Presiden Soeharto, situasi dari novel itu tidak memiliki kekuatan secara tematik. Baik dari soal entrok sendiri, keyakinan orang Jawa terhadap leluhur, bahkan tentara yang kerap berdiri di kepala orang miskin.

Namun, bagi generasi pasca Presiden Soeharto, novel ini penting. Banyak digambarkan tentang peran tentara, pemberlakukan tiga partai politik, ketakutan tuduhan PKI, bahkan keyakinan sembah leluhur yang (mungkin) sampai sekarang masih dipertahankan. Rusman
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu