Memahat Keabadian

Satu lorong di Jalan Radio Muara, Jakarta Timur. Dua orang lelaki duduk di bangku plastik yang dudukannya ditempeli busa agar terasa empuk. Tangan kanannya menggenggam palu kecil yang diayunkan ke atas besi bermata tajam yang dipegang tangan kirinya, memahat granit datar. Matanya tajam mengamati setiap lekuk huruf yang dipahatnya. Sesekali ia meniup keras hasil pahatan untuk membersihkan serpihan halus granit.

Mereka bukan pekerja seni patung. Dua orang itu pembuat ukiran nama yang dijadikan batu nisan. Adalah Tatung yang usianya 54 tahun dan Robin yang berusia 33 tahun. Keseharian keduanya adalah memahat nama-nama orang yang meninggal dunia. Pekerjaan yang sudah dilakoni sejak bertahun-tahun.

Rumah tempat mereka bekerja adalah milik Satiri, sang pemilik usaha yang menggeluti bisnis ini secara turun temurun. Tatung, Robin dan sejumlah laki-laki lain adalah pekerjanya. Ada yang bertugas membuat cetakan batu nisan di halaman depan. Dan ada yang tugasnya hanya membuat ukiran nama di batu nisan yang berada di samping gang rumah Satiri.

Tatung terbilang paling banyak punya jam terbang, karena sudah 30 tahun memahat nisan. Dia sudah tidak gundah lagi mengukir satu persatu nama. Sudah ratusan, bahkan ribuan, nama yang dia torehkan. Di antara nama-nama yang tak dikenalnya, tak sedikit nama tetangga yang memesan batu penghias kuburan ini.

Sudah tak ada kecanggungan lagi mengukir kalimat berbahasa Arab di batu marmer dan batu jenis lainnya. Dengan kaca mata tebalnya, Tatung masih mampu mengatur pahatannya di batu sekeras apa pun.

“Yang paling berat mengukir batu granit. Batu kan keras. Sebenarnya sih, semuanya sama keras. Marmer juga cukup alot. Untuk batuan ini, sehari bisa selesai tiga batu nisan,” ujar Tatung.

Pada awal menjadi pemahat batu nisan, Tatung tidak punya pikiran apa pun. Dalam benaknya, pekerjaan ini hanya mendatangkan penghasilan untuk membiayai pendidikan tiga orang anaknya.

Namun di usia senjanya kini, kadang-kadang terlintas pikiran yang menurutnya sendiri aneh. Tatung sering membayangkan namanyalah yang terukir di batu nisan itu. “Merinding kalau ngebayangin itu.”

“Apalagi usia saya sudah tua begini. Nggak tahu kapan maut menjemput. Ketika berhadapan dengan batu nisan yang saya pahat, ada rasa mengerikan juga. Tapi harus dipasrahkan kepada Tuhan. Kan semua orang pasti bertemu dengan mati,” ujarnya.

Jika nanti maut benar-benar menjemput, Tatung tidak berharap anaknya akan membuatkan batu nisan mewah yang setiap hari dipahatnya. Bukan apa-apa, tak akan terjangkau harganya. Bayangkan, harga batu nisan yang paling murah saja Rp450 ribu, sedangkan yang mahal mencapai Rp4 jutaan.

“Cukup dari kayu saja. Kasihan anak-anak kalau dibebani juga. Apalagi batu nisan bukan barang murah. Untuk hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan,” ujarnya, tersenyum.

Robin yang berada di sebelah Tatung ikut tersenyum mendengar penjelasan rekannya tersebut. “Wah, masa tukang ukir nama orang mati, terus pengukirnya mati bikin sendiri namanya. Tapi menarik juga tuh idenya,” ujar dia.

Umumnya, ada dua jenis ukiran nisan yang mereka buat. Kutipan ayat Quran untuk kuburan Muslim dan salib untuk kuburan penganut Kristiani.

“Banyak juga yang memesanan tulisan yang diambil dari surat di Alkitab. Pokoknya terserah keinginan pemesan saja. Kita tinggal membuatkan. Mau yang ukuran besar atau kecil, gampang dilakoni,” ujar Robin.

Dari lokasi pemahatan, Robin pindah ke lokasi pencetakan nisan di halaman depan yang hanya berjarak tiga meter dari lokasi pemahatan. Beratap seng penahan sinar matahari. Sebagian nisan masih separuh jadi dengan balutan semen, dan sebagian nisan sudah jadi. Nisan-nisan yang sudah jadi dijajarkan rapi.

Di situ sudah ada seseorang yang mengaduk semen dan pasir sebagai bahan utama pembuatan batu nisan. “Ini proses pembuatan bahan dasarnya. Nanti, nama yang sudah diukir tinggal ditempel di cetakan yang setengah jadi,” kata orang yang biasa disapa Gondrong itu.

Robin sibuk memoleskan cat kuning ke seluruh lapisan batu nisan yang namanya sudah selesai diukirnya. Hasilnya memang indah. Jadi terlihat mencolok. Robin mengusapnya dengan lembut. Tahap akhirnya adalah melapisi butiran emas di setiap hurufnya. Nama yang tertera di batu nisan tampak berkilauan. Robin menggosoknya sekali lagi ke seluruh lapisan batu nisan. “Supaya kesannya mewah. Masa orang mati kesannya sedih,” kata dia, tersenyum sambil terus bekerja.

Batu-batu nisan pahatan Tatung dan Robin kini tinggal menunggu diambil pemesannya. Keduanya sama-sama berharap, batu nisan itu tidak menempel pada makam mereka nanti, cukup kesan baik yang menempel di hati orang-orang tercinta.

Reactions

Posting Komentar

1 Komentar

Adhie Pamungkas mengatakan…
halo, Rusman. Apa kabar? bisa saya tahu di mana lokasi persis pembuat batu nisan tersebut?
Close Menu