Matinya Jenderal Besar

26 Januari 2008. Matahari baru saja tersisihkan oleh bulan dan bintang yang mengantung di langit. Warnanya ceria. Bulan didampingi oleh warna-warni yang mengelilinginya dan bintang mengedipkan matanya. Tak ada tanda-tanda hujan. Jakarta di tengah malam, hanya sesekali saja mobil yang melintas. Sesekali bunyi sirene mobil polisi yang meraum kencang.

Malam itu, saya sedang memacu motor di kawasan Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta Selatan. Usai liputan di salah satu diskotik di sekitar Kebayoran. Seorang kawan dari Kalimantan Timur menelepon ke telepon seluler saya. Motor saya tepikan di dekat SPBU yang tak jauh dari Bunderan Semanggi.

“Man, Jakarta situasinya aman nggak?”

“Maksudnya,” tanya balik saya. Kaget. Karena pertanyaannya tentang kondisi ibukota negeri ini. “Mau ada kekacauan apalagi,” terbesit di benak saya.

“Lah, kabarnya dari daerah. Jakarta akan kerusuhan kalau Soeharto meninggal. Bener nggak sih?” jawabnya.

Saya langsung merinding mendengar ucapannya. Apalagi saat dia mengucapkan itu, satu truk yang mengangkut tentara melintas. Dan tak lama kemudian, mobil patroli sudah terlihat di belakang saya dengan lampunya yang berkedap-kedip warna biru sambil menghentikan kendaraannya.

Soeharto bekas Presiden Indonesia yang merebut kekuasaan dari Soekarno ini, memang sedang terkapar di Rumah Sakit Pusat Pertamina alias RSPP yang letaknya di Jakarta Selatan. Sudah beberapa pekan ini, sang penguasa orde baru ini kritis. Bahkan dikabarkan sudah meninggal diam-diam. Sehingga tak banyak masyarakat yang tahu.

“Waduh, kalau soal situasi Jakarta dan kalau tewasnya Soeharto, gue nggak tahu. Yang aku tahu saat ini, Jakarta memang udeh sepi. Dari tadi juga, gue sering dengerin bunyi sirene. Tuh abis lewat truk tentara,” ujar saya.

“Ya, sudah. Aku cuma mau memastikan aja. Bener atau tidaknya situasi di Jakarta saat ini,” ujarnya. Teman saya mematikan teleponnya. Dia hanya minta dikabarin setiap hari tentang situasi Jakarta yang menanti meninggalnya Soeharto. “Oke, nanti aku kabarin sih,” ujar saya.

Terkaparnya Soeharto di RSPP memang menciptakan spekulasi. Hampir sepekan sebelumnya, banyak kabar beredar. Dari akan terjadinya kerusuhan di Jakarta, sampai spekulasi akan adanya tentara yang berontak. Tapi selama yang saya tahu, situasi Jakarta selalu aman saja. Itu cuma issue.

Saya akhirnya aman tiba di rumah. Lelah dan ingin segera tidur. Sebelumnya, saya membuka situs berita Okezone.com. Berita tentang Soeharto, nampaknya masih belum ada perkembangan tentang kesehatan Soeharto. Hanya dinyatakan sudah bisa makan pelan-pelan.

27 Januari 2008. Jakarta kelihatan sedikit mendung. Tapi tidak ada tanda-tanda akan hujan. Enggan rasanya untuk bangun dari tidur. “Sudah siang,” ujar pikiran saya. Terbangun, masak air panas, bikin kopi, membuka laptop, dan mengetik. Saya masih enggan membuka situs berita.

Hanya hanya membuka koran Jurnal Nasional dan Tribun Kaltim versi cetaknya, serta sibuk mengatur tata letak blogspot saya sendiri. Tak ada kepikiran untuk menonton televisi. Sudah hampir setahun ini, saya tidak pernah nonton televisi. Bagi saya, siaran televisi tidak lagi ada yang bermutu. Palingan sedang ditayangkan sinetron kacangan dan gosipan selebritis melulu.

Televisi saya setel hanya setiap tengah malam di atas pukul 11 malam. Itu pun hanya manteng di Trans TV, acaranya pasti tayangan film yang disetel hingga dinihari. Kalau yang lainnya, tak pernah tersentuh dan hanya saya lihat sekelebat saja.

Lelah menulis, saya ingin merebahkan tubuh. Pendingin kamar saya nyalakan. Buku, kertas dan tas yang terhambur di lantai, saya singkirkan. Nyaman rasanya. Kepala rada enakan. Remote televisi saya ambil dari sisi kiri ranjang. Bantal kepala saya saya tumpuk dua. Dan bantal guling, sudah nyaman saya peluk.

“Klik…Klik…” tombol remote nomor 1, saya pencet. Indosiar. “Loh, kok ada rame-rama di RSPP,” ujar saya.

Seorang presenter perempuan langung nongol dan menyampaikan siaran langsungnya. “Mantan Presiden Soeharto yang meninggal pada pukul dua belas lewat sepuluh menit ini, akan siap-siap diberangkatkan ke Cendana,” ujarnya dengan suara terputus-putus.

“Soeharto meninggal,” ujar benak saya tak percaya. Saya ganti channel ke televisi lainnya. Ternyata semua siaran televisi menayangkan yang sama, Soeharto melulu. Ternyata benar, penguasa itu meninggal dunia.

Mendengar kabar itu, saya langsung masuk kamar mandi. Nongkrong di toilet sambil merokok dan membayangkan wajah Soeharto yang hari itu sudah dinyatakan meninggal dunia oleh tim dokter. Apalagi, saat ditayangkan televisi, dia sudah dibungkus kain putih.

Saya jadi ingat ketika Soeharto menjadi penguasa. Ingat kasus Kedung Ombo, Talangsari, dan yang paling ingat dan saya rasakan adalah kasus 27 Juli dan penangkapan aktifis mahasiswa yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan underbow-nya saat itu.

Saya teringat, bagaimana setiap saat harus berdemontrasi menentang kebijakan Orde Baru. Sembunyi-sembunyi mengikuti kongres Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) II, melihat penyerbuan langsung kantor pusat PDIP di Menteng, Jakarta. Dan bagaimana rasanya, dikejar-kejar oleh aparat Soeharto bagi aktifis mahasiswa yang membangkangnya.

Ingat juga tentang kawan-kawan lama; Bimo Petrus, Wiji Thukul, Wawan, dan kawan PRD lainnya yang masih hilang. Gara-gara hanya ingin menjatuhkan rezim Soeharto, saya harus begadang. Membuat selebaran anti antek Soeharto, dan banyak lagi. Capek dan melelahkan. Tapi, itulah perjuangan dan pergerakan yang harus dilakukan. Dalam pikiran saya, Soeharto memang harus dihabisi.

Setengah jam, perut saya rasanya sudah lega. Saya siram kotoran dari toilet dan siram air di bagian anus. Bersih-bersih. Bayangan Soeharto sudah buyar. Kemudian, saya langsung bersabunan, memberikan Shampo di kepala, dan sikat gigi. Bersih-bersih. Lega rasanya.

Reactions

Posting Komentar

1 Komentar

Anonim mengatakan…
enak deh baca tulisan mas rusman,hehhe.pinter nulsi nya euy,tapi pas terakhir yang 'nyiram bagian anus' aku kok agak gmn yah hahahaha.wahh itu seru banget kali yah mas ketika berjuang menjatuhkan rezim orde baru,sayang aku msh sd waktu itu. :)
Close Menu