Menikmati Kepulauan Seribu

Jakarta pada pertengahan Agustus 2007, begitu cerah. Kapal kayu bernama Phinisi Sea 8, sudah merapat di pelabuhan Sindang, Jakarta Utara. Kapal ini khas perahu suku Bugis Makassar yang terlihat kokoh dengan panjang 32 meter dan memiliki kecepatan 20 knot. Semuanya dibuat serba dari bahan kayu ulin. Ada tiga cadik dengan layarnya. Ditambah dua layar lagi di tengah dan dua layar di belakang.

“Kita nikmati saja perjalanan ini. Enjoy. Kita ingin memperkenalkan wisata maritim. Kita akan kunjungi beberapa pulau. Sehingga, ada wisatawan lokal dan mancanegara yang tertarik,” ujar Sapta Nirwandar, Sekretaris Jenderal Departemen Budaya dan Pariwisata.

Lembaga tinggi negara ini sedang mengadakan perhelatan workshop dan outbound peningkatan pemahaman bidang budaya pariwisata bagi jurnalis dan pers selama dua hari. Saya, satu di antara puluhan peserta lainnya dari kalangan jurnalis dan panitia departemen itu. Acara ini adalah yang kedua kalinya dilangsungkan dalam setahun ini. Tahun lalu, diadakan di Sukabumi, Jawa Barat.

Semua peserta dikumpulkan di dek paling atas. Di tempat ini, hanya dilindungi terpal biru. Di situ sudah ada para petinggi departemen, Sekjen, Dirjen, Kabag, staf ahli dan staf Humas. Angin laut leluasa mengelus badan kami. Sambil mendengarkan paparan petinggi itu tentang wisata maritim, saya kerap memerhatikan lalu lintas laut sepanjang perjalanan.

Memerhatikan kesibukan peti kemas, melihat perahu nelayan yang melintas di sisi kapal, dan memandang jauh ke lautan luas. Tak perduli dengan cuaca panas, angin laut lebih terasa nyaman. Maklum, sudah puluhan tahun lamanya saya tidak menikmati embusannya.

Yang saya catat dari paparan orang departemen itu, “Wisata maritim sebenarnya sangat potensial. Sayangnya, sampah daratan telah merusak keindahannya,” ujar Sapta. Intinya, “Departemen ini kekurangan dana. Memang, masalahnya soal klasik.”

Saya memilih menikmati saja panorama lautan. Pulau yang kali pertama didatangi adalah Pulau Damar. Sekira 10 mil dari darat atau menempuh waktu satu jam lebih. Di tengah perjalanan, kami melintasi gugusan pulau Biara dan Pulau Monyet. Dua pulau ini berpasir putih dan tidak ada penghuninya. Kelihatan sangat teduh dengan banyak perpohanan.

Setiba di Pulau Damar, kapal tak bisa merapat. Jarak dari kapal ke darat sekira 100 meter. Di sini ada sekitar delapan perahu nelayan. Mereka sedang sibuk memperbaiki jala untuk menangkap ikan. Yang membuat kami tertarik, menara mercusuar yang masih terlihat kokoh dari kejauhan.

Mercusuar ini masuk daftar suar Indonesia ke 1720 dengan tinggi menara 52 meter. Elevasinya 56 meter dengan jarak tampak 20 mil laut. Dibangun pada tahun 1879 oleh raja Willem III dari Kerajaan Belanda. Menara ini masih berfungsi sebagai tanda lalu lintas lautan.

Saya memilih mendarat ke pulau itu. Diantar oleh perahu boat yang penumpangnya diwajibkan mengenakan baju apung. Keluhan Sapta benar. Di dermaga sudah banyak tumpukan sampah plastik yang mengapung. Seorang teman memberikan buah khas pulau itu. Bentuknya bulat, berkulit hijau. Isinya berwarna putih. Kulitnya mudah terkuak. Rasanya manis. Tapi tak ada yang tahu nama buah itu.

Dari dermaga ke mercusuar berjarak sekira 200 meter. Suasananya rindang dengan perpohonan. Ingin rasanya bisa tertidur di bawah perpohonan. Sesekali terdengar nyaring suara binatang. Di mercusuar, ada rumah penjaga pulau itu. “Penjaganya sedang ke daratan,” ujar pemandu kami.

Rugi rasanya tidak menikmati pemandangan laut dari ketinggian. Saya dan beberapa teman memilih untuk naik ke lantai tertinggi mercusuar itu. Mercusuar ini masih terlihat kokoh. Ada lift yang sudah lama tidak berfungsi. Lantai mercusuar terbuat dari besi baja. Pun tembok-temboknya. Terpaksa, harus melintasi 16 lantai untuk bisa tiba di puncak mercusuar.

Walaupun terasa lelah menaiki lantai demi lantai, di lantai tertinggi itulah pemandangan dahsyat begitu terlihat. Hamparan lautan berwarna biru, sejenak membuat saya lupa dengan berbagai aktivitas kerja. Melupakan hiruk pikuk kota besar. Seakan menjadi orang yang paling tinggi di negeri ini.

Dari balkon mercusuar itu, hanya terdengar suara ombak, desiran angin, dan suara burung. Kapal Phinisi, terlihat begitu kecil. Di sini, saya bisa melihat burung yang hidup di pulau itu. Menclok dari pohon satu ke pohon lainnya. Pasir putihnya juga terlihat berkilauan. “Nggak sia-sia kita naik setinggi ini,” ujar Adji Kurniawan sambil pelan-pelan mengatur nafas. Lelah. Ia Redaktur Travel Club. Nama majalah pariwisata, perjalanan, seni dan budaya.

Ingin rasanya bisa berlama-lama di mercusuar itu. Tapi waktu menyatakan lain. Kami terpaksa harus kembali ke kapal Phinisi untuk melanjutkan perjalanan ke pulau lain, Pulau Ayer. Ke pulau ini, menempuh jarak tujuh mil atau waktu tempuh 45 menit dari Pulau Damar.

Menjelang senja, kami sudah ada di dekat dermaga Pulau Ayer. Kapal tidak bisa merapat. Pulau itu dari kejauhan begitu indah. Lampu berkedap-kedip di dekat dermaganya. Berpasir putih. Banyak cottage dan terlihat air mancur begitu indah. Pulau Bidadari nun jauh di sana.

Kami bermalam di atas kapal Phinisi. Sebagian peserta tidur di dek-dek kapal dan sebagian lagi di kamar yang sudah tersedia. Semua ruangan memakai pendingin. Kapal ini dilengkapi restoran, ruang karaoke, dan penumpang bisa bersantai-santai di buritan kapal depan maupun belakang. Ke ruangan kemudi juga dibebaskan.

Malam hari, kami lewati dengan bernyanyi di dek kapal terbuka di bagian paling atas. Kami bersenang-senang. Berjoget ria diselingi tawa. Tidak peduli, kapal bergoyang-goyang. Benar-benar hari itu menjadi saat yang paling asyik untuk melupakan segala macam persoalan. Pejabat dan wartawan, tak lagi mengenal batasan kerja.

Esok paginya, barulah kami mendarat ke Pulau Ayer, diantar oleh perahu boat. Di pulau ini, tak ada lagi mercusuar. Rombongan disambut oleh Wakil Bupati Kepulauan Seribu, Abdul Rahman. Lagi-lagi, kami mendengarkan keluh kesah. Ia menceritakan keironisan obyek wisata maritim yang ada di Kepulauan Seribu. Tentang sampah, zat kimia, dan dana untuk penanganannya.

“Banyak masalah. Limbah Industri saja mencapai 8 juta meter kubik per tahunnya. Akibatnya, perairan bagian selatan sudah tidak lagi sehat. Bahkan beracun. Ikan-ikan sudah mengandung toksit. Sudah sulit menemui terumbu karang,” tutur Abdul Rahman.

Sampah, kata dia, menjadi masalah bagi pengusaha resor yang banyak didirikan di beberapa kepulauan wisata. Dari sembilan pulau yang dikembangkan untuk usaha, kini tinggal empat resor yang bertahan. “Sisanya di lima pulau lain sudah mati,” ujarnya lagi.

Benar kata Abdul Rahman. Sampah memang menjadi masalah. Di Pulau Ayer pun, sampah menjadi bagian yang mudah dilihat di bibir pantai. Namun pulau yang diresmikan tanggal 12 Juli 1987 oleh Gubernur Jakarta saat itu, R. Soeprapto, tetap saja terlihat indah.

Untuk ke pulau itu, dari Pantai Marina Ancol, Jakarta menempuh waktu 15 sampai 20 menit atau sekitar 14 kilometer jaraknya. Pulau Ayer berpasir putih dengan luas 5 hektar. Ada sekitar 45 cottage yang dibangun menjorok ke lautan dengan tradisi nusantara yang terbuat dari kayu.

Tersedia juga olahraga air dan rekreasi. Seperti bilyar, karaoke dan fasilitas pertemuan yang dapat memuat lebih dari 150 orang. Yang dilengkapi restoran, kedai kopi, toko suvenir, klinik dengan pelayanan 24 jam. Di sini, pohon-pohon begitu rindang dari berbagai macam jenis. Ada pohon kelapa, ketapang, asam jawa dan lainnya.

Paling mengasyikan lagi, pengunjung bisa berenang di dua air yang berbeda rasa. Di daratan, disediakan kolam renang dengan air tawar. Bisa juga berenang di pinggir pantai berair asin yang sudah terhindar dari sampah-sampah. Sejuk dan menyenangkan, itulah yang paling berkesan saat berada di Pulau Ayer.

Menjelang siang, kami meninggalkan Pulau Ayer menuju Pelabuhan Sindang, Jakarta. Tempat awal mengantar kami yang juga lokasi sandarnya Kapal Phinisi. Kembali menemui hiruk pikuk dan polusi kota. Hingga ingin rasanya, segera melupakannya sejenak dengan kembali ke Kepulauan Seribu.
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu