Senjakala Panbers

Pertengahan Juli 2007. Malam baru saja tiba. Café Arios yang berada di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, masih sepi pengunjung. Beberapa lelaki sedang sibuk mengatur barang bawaannya: mengeluarkan isi tas, memeriksa gitar, dan menyetem drum di atas panggung berukuran sekira 5 x 4 meter.

Dari sekian lelaki di sana, hanya wajah Benny Panjaitan yang saya akrabi. Ia vokalis Panbers. Malam itu ia mengenakan kaos dan bercelana jeans. Perawakannya sedang-sedang saja, tak terlampau gemuk atau pun kurus. Sesaat setelah bertegur sapa, ia memberikan sebuah buku berhalaman tipis berlabel ‘Maestro’. Buku itu memuat sejarah dan lagu-lagu Panbers.

“Di buku ini sudah cukup lengkap cerita Panbers,” ujar Benny. “Anda pelajari saja dulu, nanti ada waktu untuk wawancara.”

Saya membolak-balik tiap halaman buku itu di meja sudut dekat panggung. Di halaman kedua, empat wajah anggota band Panbers terpajang. Mereka adalah Hans, Benny, Doan, dan Asido. Semua punya marga sama: Panjaitan. Dari marga itulah nama kelompok musik legendaris ini diambil, Panbers alias Panjaitan Bersaudara.

“Inilah Panbers yang tetap menjadi legend. Tidak pernah berhenti berkarya walaupun sudah usia senja,” tutur Benny. Ia pamitan untuk masuk ke kamar hotel, beristirahat sejenak sebelum konser.

Malam itu, Panbers sedang mempersiapkan pementasan. Kecuali Hans yang sudah meninggal dunia di tahun 1995, Benny mengerahkan semua personel Panbers. Kini, Panbers tidak hanya bermarga Panjaitan. Ada tiga personel tambahan, Maxie Pandelaki, Hans Noya, dan Hendri Lamiri.

Hampir sejam lamanya, saya menunggu di dalam café. Pukul 20.00 WIB, sudah ada beberapa tamu undangan yang datang. “Saya Adolf Panjaitan,” ujar seseorang seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Saya ketua panitia konser Panbers,” ujarnya. Belakangan saya baru tahu, lelaki ini adalah anak tunggal dari Doan Panjaitan. Ia meminta Saya menunggu.

Tak lama kemudian, barulah Panbers memperlihatkan diri. Semua personel, mengenakan kaos berwarna hitam bergambar coretan wajah. Mereka memberikan waktu wartawan untuk memotretnya.

Wajah Benny masih terlihat segar bugar. Kalung emas menjuntai di lehernya. Sido masih tetap mengenakan kaca mata. Ia mengenakan jaket dan duduk kalem. Sedangkan Doan, walaupun anak bungsu, raut wajahnya sudah kelihatan menua. Ia mengenakan topi dan tidak banyak bicara.

“September, Panbers akan meluncurkan album barunya. Dua lagu kami bocorkan. Judulnya, ‘Sayangku’ dan ‘Hati yang Merindu,” ujar Benny.

Tamu undangan sudah memenuhi ruangan café. Di sana ada Adnan Buyung Nasution, Rinto Harahap, Is Sugiyanto dan lainnya. Sebagian besar penonton adalah wajah-wajah yang sudah tidak muda lagi. Usai pemotretan, Panbers langsung menyapa dan memberikan untaian bunga kepada ketiga orang yang disebutkan tadi.

“Ini konser salam untuk sahabat,” ujar Benny membuka sambutan ketika sudah berada di atas panggung.

Lagu “akhir cinta’ menjadi pamungkas pembukanya. Penonton seakan tidak berhenti mengiringi Benny Cs menyanyikan lagu itu. Seakan tidak pernah berhenti untuk mengakhiri nostalgia dari kelompok yang tak pernah surut dari blantika musik.

*********

Di depan rumah bercat putih itu terparkir satu mobil Fiat kuno buatan tahun 1960 yang disandingkan dengan gerobak bertulisan: nasi goreng seniman. Warga sekitar menjuluki rumah yang terletak di Jalan Hamka, Ciledug, Tanggerang itu rumah Panbers.

Di atas tanah seluas satu hektare itu keluarga Panjaitan bermukim. Ada tiga bangunan yang bediri di sana. Rumah induk yang terletak di sebelah paling kanan ditinggali ibu Panjaitan bersaudara bersama anak-anak almarhum Hans. Sementara Benny menempati rumah di sebelah kiri, berdampingan dengan rumah Sido yang terletak di sudut kiri. Lahan kosong di sudut kanan ditanami pohon pisang dan berderet pohon palem yang tumbuh tinggi.

Rumah keluarga Panjaitan terlihat sepi. Hanya ada seorang perempuan setengah baya, mengawasi anak-anak yang bermain sepeda di halaman rumah. “Itu Opung. Itu ibunya Panbers,” tunjuk perempuan itu. Opung adalah julukan untuk nenek bagi Suku Batak di Sumatera Utara.

Perempuan yang ditunjuk itu, berjalan perlahan dari rumah induk yang halamannya terparkir sedan Mercy Tiger tahun 1980-an. Ia mengenakan kaca mata. Berpakaian santai. Di usia yang sudah senja, jalannya masih kelihatan tegap dan menyempatkan diri tersenyum.

“Saya masih muda,” ujarnya bercanda ketika saya menanyakan usianya. Ia malah tersenyum dan akhirnya menyebutkan usianya, “sudah 80 tahun.”

Perempuan itu adalah ibu kandung Panbers. Nama aslinya Bosani Panjaitan. Sebenarnya ia dari marga Sitompul. Karena harus mengikuti garis suami, ia menyematkan nama terakhirnya, Panjaitan. Suaminya yang juga ayah Panbers bernama JMM Panjaitan. Sudah meninggal dunia pada tahun 1972. Pekerjaan terakhir sebagai karyawan di Bank Rakyat Indonesia (BRI).

“Saya tinggal sama anaknya Hans. Doan aja yang tinggalnya berbeda. Pelan-pelan, lahan kosong itu nantinya akan dibangun rumah. Itu jatahnya Doan,” ujarnya sambil menunjuk lahan kosong yang ditanami pepohonan pisang.

Hans anak pertama keluarga Panjaitan, gitaris Panbers, dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 24 Januari 1946. Ia meninggal pada 12 Maret 1995 dalam usia 49 tahun akibat penyakit jantung yang sudah lama menggerogoti tubuhnya. Jenazah Hans dimakamkan di perkuburan umum Menteng Pulo.

Anak kedua Panbers bernama Mimbar Porbenget Moal Hamonangan Panjaitan alias Benny. Lelaki ini dilahirkan 14 September 1948 di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Di Panbers ia didaku sebagai vokalis merangkap gitaris.

“Benny lahir di pengungsian. Waktu itu, kan masih zamannya perang. Ibu lagi hamil tua, harus mengungsi dari Medan, kemudian melintasi Siantar. Dan terakhir di Tarutung, di situ Benny dilahirkan,” tutur Opung.

“Kalau soal ngungsi-mengungsi, ibu udeh pengalaman. Makanya, sekarang masih kelihatan segar bugar. Dulu, pokoknya pindah-pindah tempat dari kota satu ke kota lain.”

“Semua anak Panbers, dilahirkan normal saja. Lahirnya nggak nyusahin,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Anak ketiga Panbers dipanggil Doan. Nama lengkapnya, Porbulus Domo Pangidoan Panjaitan. Lelaki berkaca mata ini, lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 15 Juli 1950. Di Panbers, ia sebagai pianis dan sesekali bernyanyi. Sedangkan anak bungsunya, Asido. Bernama lengkap Asido Rohana Panjaitan, yang dilahirkan di Jakarta, 1 Februari 1951. Ia penabuh drumnya. .

Tak semua Panjaitan bersaudara lelaki. Mereka memiliki seorang perempuan, Natasya Panjaitan. Adiknya Sido. Namun Natasya meninggal dunia di usia 16 tahun pada 1973 karena sakit demam berdarah.

Musik bukan hal aneh lagi di keluarga Panjaitan. Sejak kecil, mereka sudah memiliki alat musik sendiri. Benny kecil, saat tinggal di Palembang, pernah berlatih bermain biola selama 10 tahun. “Bapak, kan dulu senang main biola,” tuturnya. “Waktu kecil, anak-anak sering mentas muter-muter. Kalau ada panggilan mentas, Panbers mentas.”

“Dari personel Panbers, siapa yang punya pengaruh di keluarga?” tanya saya.

“Benny,” jawabnya spontan. “Ia anaknya keras. Banyak kemauannya. Kalau dia ngomong, harus diturutin. Dia yang banyak berikan arahan kepada adik-adiknya.”

Ia mengizinkan saya masuk ke rumah Sido yang ada di sudut kiri. Persis berada di sebelah mobil Fiat kuno itu. Mobil ini yang pernah menjadi sampul lagu lawasnya. Rumahnya ternyata disulap menjadi café. Lampunya remang-remang. Ada panggung kecil yang disesaki alat-alat musik.

Setiap sudutnya, terpajang foto-foto Panbers. Ada yang berfose di mobil tua, dan foto album pertamanya. Personel Panbers, semuanya berambut gondrong. Di café ini, fans Panbers biasa berkumpul. Sesekali, Panbers bernyanyi.

Usai dari situ. Di halaman rumah Benny sudah ada seorang perempuan sedang duduk santai sambil ngobrol dengan Opung. Saya dikenalkan. Perempuan itu, bernama Nensy Panjaitan. Ia Istri Benny. Sebenarnya, ia bermarga Sitompul.

Perkawinannya dengan Benny melahirkan tiga anak. Putra pertama bernama Dino yang sudah berusia 30 tahun, Anak keduanya putri bernama Reiza berusia 28 tahun dan putri ketiganya, Victoria masih lima tahun.

“Masuk saja ke rumah. Lihat-lihat ruang kerjanya,” ujar Nensy menawarkan saya melihat ruang kerja Benny.

Ruang kerja Benny, dijejali banyak album-albun Panbers. Sekira ratusan kaset yang terpajang di setiap dinding mengitari meja kerjanya. Tidak hanya kaset, ada juga foto Benny yang berpose bersama mantan Presiden Megawati, foto konser, dan gitar pertama milik Benny.

“Itu platinum yang diperoleh Panbers,” ujar Nensy, menunjuk piringan berwarna keemasan yang terpajang di dinding paling atas. Saya menghitung, ada 11 platinum.

“Benny kalau di rumah, banyak waktu untuk istirahat. Terus bikin lagu atau main musik di Café Sido,” ujarnya.

Benny menikahi Nensy pada 1975. Pertemuannya berlangsung saat ada pesta keluarga Nensy di sekitar Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan. Di mata Nensy, Benny orangnya baik, suka humor, dan familiar.

Ia punya cerita lucu sebelum menikah. Ia dan Benny menaiki becak dari rumahnya di Guntur ke Manggarai. Di tengah jalan, tiba-tiba becaknya terjungkal. “kan saat itu cuma ada becak. Gara-gara itu, seringan naik mobil aja deh,” ujarnya.

“Dulu, rambutnya Benny gondrong. Pas kawin, baru deh rambutnya pendek. Ha..ha..ha…,”kenangnya.

Walaupun rambutnya tidak gondrong lagi, Panbers tetap saja melantunkan lagu romantis tentang percintaan. Panbers tetap berada di tengah penggemarnya yang sudah tidak muda lagi.

********

Malam di café Arios, Jakarta Selatan. Ani, perempuan yang sehari-hari bekerja menjadi guru TK di Ciledug, Tanggerang, memesan minuman dengan tiga rekan sejawatnya. Ia sedang menanti konser Panbers. Malam itu, ia beruntung. Mendapat undangan langsung dari Benny Panjaitan.

Ia guru TK anaknya Benny, Victoria yang dipanggil Ori. Sudah lama, ia ingin sekali menyaksikan langsung konser Panbers. Selama ini, hanya dari kaset yang didengarkannya.

“Natal tahun lalu, Benny nyanyi. Tapi dia sendirian. Nggak sama personel lainnya,” tuturnya.

Ani selalu melihat Benny mengantarkan anaknya sekolah. Benny yang juga kerap menungguinya. Jika Ori diantar oleh tantenya, Ani tahu kalau Panbers sedang ada konser. Di sekolah, Benny selalu bergaul dengan guru-guru lainnya. “Undangan konser ini, Pak Benny yang antar langsung. Guru-guru jadi senang,” tuturnya.

Panbers. Nama kelompok lawas ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Kelompok ini didirikan tahun 1969. “Sebutan Panbers dibuat spontan saja. Kayak Koes Bersaudara, berarti Koeswoyo bersaudara. Jadi kalo Panbers, Panjaitan bersaudara,” ujar Benny kepada saya.

Kelompok ini kali pertama muncul di Istora Senayan tahun 1970. Mereka sudah membawakan lagunya sendiri. Saat itu, mereka mentas barengan dengan Koes Bersaudara dan D’lloyd . Usai dari situ, mereka juga kerap muncul di TVRI, satu-satu siaran televisi yang ada di Indonesia era itu. Panbers membuat lagu sendiri, seperti “Bye-Bye”, “Jakarta City Sound”, “Akhir Cinta”, “Hanya Semusim Bunga” dan “Hanya Padamu”.

Sejak kemunculannya di TVRI pada 1972, Panbers mulai menerima penghargaan sebagai band yang cukup digandrungi saat itu. Tahun 1975, menerima piringan emas untuk lagu “Bebaskan” yang digemari di tahun 1974 sampai 1975 dalam Angket Musik Indonesia.

Tahun 1976 menerima piala khusus dari Bank Tabungan Negara. Hampir setiap tahunnya, Panbers memperoleh Angket Musik Indonesia Puspen Hankam. Antara lain dengan lagu; “Terlambat Sudah” tahun 1976, “Perantau” tahun 1977, dan lagu “Merana” tahun 1978.

“Tadinya, kita cuma mentas-mentas biasa aja. Di perusahaan-perusahaan atau pesta perkawinan,” tutur Benny.

“Darah daging Panbers, memang di jalur musik,” ujar Sido.

Panbers punya alat sendiri. Mereka punya gitar, drum, dan keyboard. Sebelum merambah ke jalur konser, Panbers kecil pun, sudah kerap memainkan musik di sekolah-sekolah. “Suara Benny yang nampaknya paling pas untuk vokalis Panbers,” ujar Sido.

Tahun 1971, Panbers membeli seperangkat alat musik milik Dara Puspita. Kelompok ini baru tiba dari konsernya di Jerman dengan memboyong alat musik bermerek ‘Marchell’. Benny langsung tertarik membelinya. “Gue bayarin semuanya Rp10 juta. Uang segitu, zaman dulu udeh bisa beli banyak rumah,” kenang Benny.

Dara Puspita didirikan tahun 1964 di Surabaya, Jawa Timur. Semua personelnya, perempuan. Mereka Titiek Adji Rachman (gitar melodi), Lies Soetisnowati Adji Rachman (bas), Susi Nander (drum), Ani Kusuma (gitar), dan Titiek Hamzah (vokalis). Kelompok ini akhirnya bubar pada tahun 1971 ketika berada di Belanda setelah tiga tahun menampaki konsernya ke negara-negara Eropa. Dari inggris menuju Prancis, terus dari Iran ke Jerman Barat dan Turki serta Hongaria.

Dengan alat musik baru itu, Panbers semakin sering tayang di TVRI. Ini membuat Digita Mimi “naksir” untuk memboyong Panbers ke dunia rekaman. Mimi adalah Manajer perusahaan piringan hitam berbendera Dimita Molding Industries. Dia juga yang menenarkan Koes Bersaudara, Dara Puspita, dan Rasela.

Studio Dimita berada di Jalan Bandengan Selatan, Jakarta Kota. Yang tak jauh dari lintasan rel kereta api. Panbers punya kenangan sendiri dengan studio rekaman itu. Berhenti rekaman saat kereta melintas dan berburu binatang jangkrik saat rekaman malam.

Saat rekaman album perdana Panbers di malam hari. Suara jangkrik terdengar keras. Maklum saja, studio jaman dulu tidak dilengkapi fasilitas yang memadai. Suara Semuanya serba sarana seadanya. Suara jangkrik, kadang ikut masuk ke dalam kaset. “Saya sampai ikutan cari jangkrik supaya nggak bunyi lagi,” tutur Benny.

“Kalo rekaman siang, pas ada kereta lewat, langsung berhenti nyanyi. Nunggu kereta melintas dulu,” ujar Benny, tertawa.

***

Panbers tidak hanya rekaman di Dimita. Tahun 1974, PT Remaco akhirnya mengaet untuk merekamnya. Di sini, mereka membuat lagu-lagu natal. Tahun 1977, Panbers hijrah rekaman ke PT. Irama Tara dan tahun 1981 digaet oleh PT U.R Record.

“Kalau soal berapa banyak lagu, kita udeh punya ratusan lagu,” ujarnya. “Lagu andalan yang menjadi pamungkas judulnya ‘Akhir Cinta’ dan ‘Gereja Tua’.”

Lirik Akhir Cinta

Awal dari cinta

Liku tanpa bahagia

Sudah suratan

Cintaku yang pertama

Cinta tanpa kasih

Tanpa akhir bahagia

Gagal dan punah

Pada akhir cinta duka

Aku gagal kali ini

Tanpa tangis dan duka

Hanya titik air mata

Dan senyum kehancuran


Awal dari cinta

Liku tanpa bahagia

Sudah suratan

Oh cintaku yang pertama


Cinta tanpa kasih

Tanpa akhir bahagia

Gagal dan punah

Pada akhir cinta duka


Hanya titik...air mata...

Dan senyum kehancuran

Lagi ini diciptakan Benny di kediaman keluarga Panjaitan di Hang Tuah, Jakarta Selatan. Tepatnya di hari Selasa, sore hari. “Tahunnya 1970. Ini lagu pertama,” ujarnya.

“Saat itu, banyak cerita-cerita dari teman yang sedang putus cinta. Saat itu, spontan terinpirasi untuk bikin lagu,” ujarnya. “Jadi nggak ada kaitannya saya yang habis jatuh cinta terus diputusin.” Ia tertawa.

Dengan lagu “Akhir Cinta” inilah, Panbers menjadi band pembuka kelompok asal Inggris, Bee Gees, saat konser di Istora Senayan, Jakarta. “Saat itu, jika ada konser dari band luar negeri, harus ada band pembuka dari dalam negeri,” ujarnya.

Tahun 1995 menjadi hari duka keluarga Panbers. Hans meninggal dunia akibat serangan jantung. Dari kejadian itulah, personel Panbers tidak hanya keluarga Panjaitan. Posisi Hans digantikan Maxi Pandelaki yang memainkan Bas dan kemudian direkrut juga Hans Noya, gitar. Juga merekrut Hendri Lamiri untuk memainkan Biola. Ia mantan kelompok Arwana.

Maxi sudah mengenal Panbers sejak lama. Ia tetanggaan dengan kelompok ini saat tinggal di kawasan Hang Tuah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Maxi kerap ikutan main musik di rumah Panbers walaupun hanya sebagai additional . Ia kali pertama ikut konsernya pada bulan Desember tahun 1979 di Manado, Sulawesi Utara. Usia Maxi kini, 54 tahun. Sedangkan Hans Noya mulai terlibat pada tahun 1997.

Dari personel Panbers, Doan yang paling sering iseng dibandingkan Benny dan Sido. “Gue pernah dikerjain pas lagi mandi. Tiba-tiba Doan buka pintu dan langsung motret kami pas lagi telanjang. Jelas, kami langsung kaget. Brengsek banget,” kenang Noya tertawa. Maxi mengiyakan.

“Gue juga pernah dikerjain ama Doan. Katanya ada telepon. Gue langsung terima. Nggak tahunya, remote AC,” ujar Maxi tertawa.

“Kalau ada show, gue biasanya tidur sekamar ama Lamiri. Ini anak, pasti nggak pernah ketinggalan bawa game PS (play station),” ujar Maxi sambil menggandeng Lamiri. Lamiri menambahkan, “Nggak seru, kalau PS nggak gue bawa.”

“Panbers akan selalu kompak,” kata Benny. Katanya lagi, “Kita memegang prinsip saling memercayai. Selama ini, tidak pernah kami ributkan soal rejeki atau hal kecil lainnya. Semuanya dibicarakan bersama.”

Panbers seakan tidak ingin mati. Mereka menyatakan diri tetap eksis di musik. Sudah ada generasi dari anak-anaknya. Generasi kedua Panbers ini membentuk kelompok bernama Bravo Band.

Benny mengatakan, jika tak ada konser, keluarga Panbers menikmati waktu di kediaman mereka di kompleks Panbers, Jakarta. Mereka bertetangga. "Anak-anak kami main band. Mereka bersepupu membentuk satu band yang alirannya berbeda dengan kami," ujar Benny.

“Ada rencana juga, pengen bikin website sendiri untuk komunitas Panbers,” ujar Adolf Panjaitan, anak Doan.

"Kami tetap eksis kok, tetap tampil keliling Indonesia. Tapi, untuk dunia rekaman dua tahun terakhir kita ekstrahati-hati dengan maraknya pembajakan," ujar Benny.
Seperti puluhan album Panbers terdahulu, lagunya masih bercerita tentang cinta. "Album baru kami masih tentang cinta. Hanya saja nuansa sedikit berbeda. Tapi, kalau dibilang lagu baru sebenarnya tidak juga, karena bicara musik adalah bicara selera," ujar Benny.

Di awal tahun 2007, lagu berjudul ‘’Kami Cinta Perdamaian” yang diciptakan tahun 1971, akhirnya menjadi lagu favorit untuk membawakan obor perdamaian bersama kelompok relawan lainnya ke Italia dan Amerika. “Lagu ini diciptakan saat suasana perang Vietnam,” ujar Benny. Di sana, Panbers bertemu dengan pejabat tinggi negara itu.

“Di sana-sini, perang masih terjadi. Kita inginkan perdamaian. Tidak harus angkat senjata. Banyak orang tak berdosa yang akhirnya ikut mati,” tutur Benny.

Kini, 38 tahun sudah Panbers mewarnai blantika musik Indonesia. Usia mereka pun, sudah tidak muda lagi. Panbers belum juga surut sebagai kelompok musik nostalgia, dan tidak perduli dengan usia senjanya. Mereka tetap legenda yang masih bertahan sampai ‘akhir cinta’ nya berakhir.

Reactions

Posting Komentar

3 Komentar

Anonim mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
buy AO credits mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan…
Saya berharap surat ini bapak baca. Sudah tiga hari ini saya mencari alamat atau no. telp managemen PANBERS, belum ketemu. Saya coba sudah menulis di Web nya, belm ada balasan. Apabila bapak berkenan mohon saya bisa diberi nomer telp managemen PANBERS.Bulan September ini saya mau syukuran nanggap PANBERS. Terimakasih sebelumnya.Widi 081 2265 9985.
Close Menu