Merenung di Balik Batu Air

Sebongkah batu hitam dengan tatakan kayu di atas meja, terlihat biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bentuknya tidak bulat sempurna. Ukurannya sekira kepala manusia dewasa. Ada sedikit warna putih di bagian tengahnya. Sekilas seperti potongan tangan manusia. Tapi bagi pemiliknya, Puspo Adijuwono, batu ini punya makna yang luar biasa. Batu itu ia namai Peace alias kedamaian.

“Jika sedang ingin merenung, saya senang memandangi batu ini. Kelihatannya tak ada apa-apanya. Padahal bagi pengamatan saya, batu ini luar biasa,” ujar dia sambil memperlihatkan batu bulat unik itu.

Ia masih memiliki banyak batuan lainnya yang berbentuk unik dan lucu. Ada yang bentuknya mirip orang bermesraan, karakter kanji bermakna raja, serta yang mirip pegunungan. Batu alam ini disebut Suiseki atau lebih dikenal dengan sebutan batu air.

Suiseki adalah seni batu indah alami. Berasal dari Asia Timur, lebih tepatnya dari negeri Tiongkok pada kira-kira 1.500 tahun lalu atau sekira tahun 618 sampai 907 M pada masa Dinasti Tan dan Sung.

Nama suiseki berasal dari akar kata Sui-Sek dalam bahasa Tionghoa yang berarti batu air, karena batu ini terbentuk akibat erosi air di sungai. Sebutan suiseki adalah versi Jepang, merupakan penggabungan dua suku kata, yaitu sui (air) dan seki (batu). Di Korea, diberi nama su-seok. Kolektornya menganggap suiseki sebagai karya alam yang sangat berharga, bentuknya sebagai representasi keindahan jagad raya dalam mikrokosmos.

Unsur air sangat berperan dalam pembentukan secara alamiah suiseki melalui proses alam, seperti kikisan air di sungai, derasnya hujan, atau gelombang di lautan yang berlangsung ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun.

“Sulit untuk mengetahui usia batu. Tapi, kita bisa mengira dari bentuk bongkahannya. Kikisan batu tidak mungkin bisa terbentuk dalam waktu singkat. Bisa ribuan tahun lamanya batu baru bisa terbentuk,” ujar Puspo.

Sudah 10 tahun Puspo menggeluti hobi ini. Awalnya, ia seorang kolektor lukisan, namun kemudian berbelok jadi lebih menyukai seni batu alam yang tampaknya lebih menarik. Apalagi, tidak membutuhkan perawatan khusus. Berbeda dengan lukisan yang cukup repot merawatnya. Apalagi mudah rusak atau luntur catnya.

Tidak hanya itu, ia menggemari suiseki karena benda-benda alam ini diperoleh tanpa merusak lingkungan. Batu-batu itu diimajinasikan layaknya miniatur alam yang bisa dipandang setiap saat. “Seakan bisa memindahkan gunung dan keindahan lainnya ke dalam rumah,” ujarnya.

Dari situlah, akhirnya, koleksi lukisannya ditukar dengan batu alam. Ia merasa lebih tenang dan bisa menikmatinya. Batu-batu koleksinya punya makna sendiri berdasarkan penglihatannya. Jika ada yang menafsirkan makna lainnya, baginya, sah-sah saja. “Jika tidak memahami tata letak batu, maka batu tidak punya nilai. Kolektor harus punya imajinasi sendiri,” ujarnya.

Seperti koleksi suiseki bernama Heart yang terlihat seperti anjing sedang menggaruk punggungnya. Ternyata, di pandangan Puspo sendiri, batu tersebut bergambar seorang sedang bermesraan. Begitu pun batu lainnya yang tampak seperti tulang rusuk manusia, ternyata menurut Puspo bermakna raja atau gunung.

“Suiseki sangat berpengaruh dan bisa memberi ilham pada kolektornya dengan pelbagai persepsi yang berbeda. Bahkan, bisa menjadi sugesti bagi pemiliknya,” ujarnya. Yang dibutuhkan dalam suiseki tak lain kejelian menafsirkan sebuah bentuk batu.

Biasanya batu itu membentuk pemandangan alam, goa, ngarai, danau, hewan, manusia dan lain-lain. Untuk menikmati keindahan batu alam ini diperlukan waktu berulang kali menatapnya. Pandangan pertama mungkin hanya menyisakan sebuah kekaguman pada bentuknya.

Puluhan koleksi Suiseki miliknya Puspo, terpajang di ruangan tamu dan ruang kerjanya. Ia bahkan memajangnya di halaman rumah. Ia juga, tak sungkan-sungkan berlama-lama hanya untuk memandangi suiseki koleksinya. Kebanyakan koleksinya berasal dari Sumatera Barat. Batu mirip gunung misalnya, berasal dari Padang. Yang dinamai Mountain berasal dari sungai Batanghari. “Wilayah itu yang memang dikenal sebagai pusat penemuan suiseki,” ujarnya.

Karena, kata dia, wilayah itu dikenal arus sungainya cukup keras dan batunya berwarna hitam pekat dengan tingkat kekerasan mencapai 5 morf. Permukaan batunya biasanya halus dan menampakkan kilatan cahaya. Bentuknya aneka ragam, namun kebanyakan menyerupai pemandangan alam. “Penafsiran orang jelas berbeda, dan akhirnya bergantung dengan imajinasi seseorang,” ujarnya. Batu yang dinikmati untuk merenung.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu