Gue, Jojo Paramex

Jakarta, menjelang siang. Kawan lama, menelepon saya. Ia menyapa dengan gembira, ketika saya menyebutkan nama. “Gimana kabar elu,” sapanya dengan suara keras, hingga saya menjauhkan telepon seluler dari telinga. “Gila lu, di Jakarta nggak kasih kabar,” nyerocos lagi tanpa menyebutkan namanya.

Saya bingung. Saat ada sela memotong ocehannya, saya bertanya, “Anda siapa,” tanya saya.

“Gue, Jojo. Jojo Paramek,” jawabnya. “Kapan elu kawin lagi,” tanya balik. Saya cuma ketawa.

Jojo memang teman lama saat saya tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur beberapa tahun yang lalu. Tapi, saya tidak pernah tahu nama aslinya. Panggilan belakangnya memang Paramex. Ini sejenis obat warungan untuk orang yang sakit kepala. Obat ini hampir setiap hari dikonsumsinya. Sehari, ia bisa menghabiskan lima butir.

Suatu hari saya menanyakan sebab ia candu obat itu. Ia menjawabnya, “sudah lama dijalani”. Ia kerap pusing jika melihat tubuh wanita yang seksi. Apalagi ketika pandangannya menatap langsung payudara. Makanya, obat itu selalu di selipkan di saku.

“Kawan, kepala gue pusing nih. Kenapa gue naik angkot. Ada cewek duduk di depan gue, gile seksi banget. Waduh…Paramex gue lupa bawa lagi,” tuturnya. Saya tertawa. Ia langsung lari ke kantin mencari obat mujarab penghilang pening.

Waduh! acuhkan saja cerita tentang namanya. Saya hanya akan menceritakan tentang dia yang lainnya. Ia bertubuh tidak tinggi-tinggi banget. Rambutnya selalu krimis dan sedikit botak. Kulitnya rada hitam. Setiap hari, ia membawa tas sempang kecil berwarna hitam. Selalu mengenakan sandal jepit.

Ia pernah jadi wartawan dan mengiklarkan diri sebagai wartawan bodrek, alias yang sering minta duit kalau kantong lagi kempes. Tapi, ia selalu berani berhadapan dengan sumbernya, jika ada wartawan idealis yang dituding sama dengan kelakuannya.

Ini juga ada ceritanya yang pernah saya alami. Seorang Kepala Polisi kota Samarinda, pernah didatangi dan dimaki-maki olehnya. Gara-garanya, polisi ini menitipkan uang kepada ajudannya untuk saya karena tidak ingin saya wawancarai. Saya menolaknya. Polisi itu menemui saya dan marah. “Saya yakin Anda sama dengan wartawan lainnya yang ujung duit,” ujarnya.

Saya marah dengan cara diplomasi sambil mengajukan pertanyaan tentang kasus penangkapan aktifis mahasiswa di sana. Polisi ini menjawab, tapi tetap saja diselingi dengan pernyataan wartawan yang mudah disuap.

Usai itu, saya bercerita masalah itu dengan Jojo. Ia marah dan langsung mendatanginya. Ia langsung memberikan argumentasi bahwa semua wartawan tidak sama denga tuduhan polisi itu. “Anda bisa nyebut saya wartawan suap, tapi jangan orang itu (saya) yang dituduh sama,” kecam dia. Polisi itu diam dan akhirnya minta maaf.

Kabar terakhir yang saya tahu. Ia tidak lagi menjadi wartawan. Ia menjadi pengecer minyak tanah dan kayu illegal. Ia banyak tahu, permainan dunia illegal logging yang banyak terjadi di Kalimantan. Ia bahkan tahu, anak sungai mahakam yang biasa dijadikan tempat sembunyiannya.

“Sekarang, gue lagi nganggur. Mau cari bisnis lain nih. Tetap yang illegal. Lebih gede duitnya. Daripada bikin kayak negara, tapi uangnya dikorupsi juga. Mending gue kaya diri sendiri,” ujarnya dia, beberapa menit sebelum menutup teleponnya.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu