Tanaman Unik Nan Mahal

Ratusan tanaman berbatang kerdil, terlihat marak di salah satu rumah warga di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Tidak hanya berderet di belakang rumah, setiap anak tangga, halaman lantai dua, dan genting pun, dijejali tanaman yang dikenal dengan nama bonsai ini.

Pemiliknya, Zulkarnain, pria berusia 42 tahun ini memang gemar memelihara tanaman bonsai. Kegiatan ini baru mulai digandrunginya pada 1980. Ia pun rela melepas pekerjaannya sebagai pelaut hanya untuk hobi tanaman mahal ini. Bayangkan saja, harga bonsai bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Di halaman rumahnya, ia memiliki enam jenis bonsai yang terdiri dari ratusan tanaman. Ada jenis sancang, anting putri, beringin dan hokkian tea. Bonsainya rata-rata masih berusia empat hingga lima tahun. Ia juga memiliki ratusan tanaman kamboja yang dikerdilkan dengan berbagai bentuk. Ada yang dibentuk mirip anjing dan dinosaurus.

Sebagian besar tanaman bonsai yang dirawatnya memiliki ketinggian 10 sentimeter. Hanya sebagian kecil yang memiliki ketinggian 40 sentimeter. Begitupun dengan kamboja yang dikerdilkan. “Walaupun kamboja dikerdilkan, tapi tidak bisa dikatakan sebagai tanaman bonsai,” kata dia.

Untuk penggemar jenis kamboja, orang sering menamakan dirinya penggemar adenium. Komunitas ini, tidak bisa dikatakan sebagai penggemar bonsai. Ciri khas bonsai, kata dia, adalah tanaman yang berbatang keras. Sedangkan tanaman kamboja memiliki batang lunak.

Hobi ini sebenarnya dilakoni turun temurun. Dulu, ayahnya sangat menyukai berbagai tanaman. Dan sejak kecil, masalah tanaman tidak pernah luput dalam kehidupannya. Di tahun 1980 itu barulah ia benar-benar mempelajari cara menjadi seniman bonsai.

Untuk merawat ratusan tanaman miliknya ini, ia tidak sendiri. Ia dibantu adiknya. Misalnya menyiram dan memerhatikan adanya cabang atau batang baru untuk dipotong (cutting).

“Harus terus diawasi. Ketika ada cabang pohon baru, langsung dipotong. Jika lengah diperhatikan, maka hasilnya sudah pasti bisa berubah dan tidak sesuai dengan keinginan kita.”

Bonsai mulai digemari di Indonesia 26 tahun silam. Jepang merupakan negara yang memiliki tanaman bonsai tertua di dunia yang usianya sudah ratusan tahun, dan Vietnam merupakan negara yang punya cukup banyak jenis tanaman untuk dibonsai. Negara lainnya yang cukup serius dengan bonsai adalah Taiwan dan China.

Banyak negara yang memburu bonsai di Indonesia. Soal tanaman ini, beberapa wilayah Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri. Sulawesi terkenal dengan jenis santii, di Medan dikenal jenis boxsus, di Papua dikenal jenis palem, di Jawa jenis tanaman beringin karet, dan dari Madura diwakili jenis cemara udang.

Yang paling berbeda dengan lainnya adalah jenis siantau. “Adanya cuma di kawasan Gunung Kawi, Jawa Timur. Kalau jenis lainnya hanya mewakil saja, tapi kalau siantau tidak ada di tempat lain,” ujarnya.

Di Jepang, bonsai dijadikan sebagai tanaman yang dipercayai harus dimiliki garis keturunan. Setiap generasi diharuskan memelihara dan merawatnya. Sehingga, hanya garis keturunan saja yang menjaganya. Jika hilang atau rusak, maka dipercaya menjadi malapetaka keluarga.

Untuk orang Indonesia, tanaman ini cenderung hanya sekadar hobi, bahkan dijadikan pengisi hari pensiun. Tetapi bagi kolektor aktif, bonsai sudah menjadi kebutuhan saat santai atau hanya untuk memeroleh sertifikat pengakuan dari Perhimpunan Pengemar Bonsai Indonesia (PPBI).

Untuk menjadi kolektor aktif, yang dikejar adalah usia tanaman bonsai. Semakin tua tanaman semakin mahal harga jualnya. Menurut Ahmad Susanto, pemerhati bonsai yang pernah menjadi juri Festival Bonsai Internasional di Taiwan beberapa tahun lalu, Indonesia selalu kalah dengan bonsai milik Jepang. “Bonsai Indonesia kalah usia tuanya dari Jepang,” ujarnya.

“Kalau soal kreasi tanaman bonsai, Indonesia masih lebih baik. Makanya, banyak orang luar yang mencari perawat bonsai dari Indonesia. Orang Indonesia dikenal telaten berkreasi,” katanya.

Harga tanaman bonsai lumayan menguras kantong. Harganya dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Ahmad mengatakan, ia pernah menjual bonsai jenis boxsas dari Taiwan yang mencapai harga Rp200 juta.

“Tanaman bonsai sebenarnya tidak memerlukan sarana atau obat-obatan agar hasilnya memuaskan. Yang paling terpenting adalah telaten dan mengawasi saja. Satu atau dua hari tidak disentuh tangan, maka hasilnya pasti sudah berubah dari keinginan awal. Pokoknya, bentuk bonsai jadi awut-awutan,” ujarnya.

Walaupun Zulkarnain dan Ahmad Susanto sama-sama penghobi tanaman bonsai, tapi keduanya tidak ngotot untuk memburunya. Dua orang ini lebih senang membuat kreasi sendiri. “Waduh, nggak sanggup belinya. Harganya saja sudah bisa buat beli rumah. Kalau ada yang pesan, baru saya carikan,” ujar Ahmad Susanto.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu