Selia

Seperti biasanya, setiap malam Selia selalu duduk termenung di depan rumahnya. Perempuan berusia 37 tahun ini, menghabiskan separuh waktu malam untuk menikmati sinar bulan purnama. Ia merasa sunyi. Sesekali ia menitikkan air matanya. Kerap tersenyum. Kadang tertawa. Sendiri.

Pada ujung malam, ia merebahkan tubuhnya. Tapi tidak bisa menutup matanya. Banyak bayang-bayang yang melintas pikirannya. Ia membayangkan bisa menikah lagi setelah tahu kalau bekas suaminya adalah lelaki homoseksual. Diambilnya sebuah kertas dan pena. Ia ayunkan jarinya untuk merangkai kata dan kalimat. Ia menuliskan judul; ‘Selia’.

Aku ini perempuan bodoh. Dungu dan tak berani berkata.

Aku hanya bisa berdoa dan bekerja.

Usiaku sudah nyaris tua. Tapi aku belum menikmati rumah tangga sesungguhnya.

Bayangkan….bayangkan….bayangkan….

Sebelas tahun menikah, ternyata mantan suamiku: Homoseksual

Ya, 11 tahun lamanya. Selia memang menikahi seorang lelaki diplomat. Suami yang diharapkan dapat memberikan keturunan. Seorang anak yang bisa becanda di kala sepi. Dan menyebutkan kata, ‘Mama!. Impian itu, cuma impian. Jangankan berpikir seorang anak, perawannya pun, belum pernah disentuhnya.

Pada suatu hari, Selia menemui saya di sebuah rumah makan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Ia adalah seorang sahabat yang saya kenal puluhan tahun yang lampau. Selia masih selalu tersenyum. Cara bicaranya selalu lamban, tenang dengan kalimat yang teratur. Yang saya kenal, ia adalah perempuan yang sabar. Yang berubah hanya postur wajahnya. Mungkin karena usia, pikir saya.

Selia tampak tidak bersedih. Ia melontarkan guyonan selama pernikahannya. Ia menceritakan ketika ikut mantan suaminya ke Australia, Amerika dan beberapa negeri Eropa lainnya. Ia juga menceritakan, sudah memiliki tempat tinggal yang nyaman di kawasan Kota Depok, Jawa Barat.

Semua itu, cuma menjadi kenangan hidupnya. Disadari belakangan, mantan suaminya yang seorang diplomat itu, menikahinya karena ingin jenjang kariernya menanjak. “Belakangan juga aku baru tahu kalau dia adalah homo,” tutur Selia.

Mantan suaminya, kerap berperan sebagai perempuan dan sudah punya pacar seorang lelaki. Selia pikir hanya pertemanan saja. Sekian tahun pernikahannya, Selia memergoki sendiri hubungan romantis kedua lelaki ini di kamar tidur rumah tangganya.

Mendengar cerita Selia, dalam benak saya sebenarnya ingin tertawa. Tapi tak tega. Ini bukan hal aneh yang sering saya dengarkan. Kejadian ini, sebenarnya bukan hal aneh terjadi di masa sekarang. Mungkin juga sudah ada di masa-masa sebelumnya.

Beberapa tahun silam, seorang lelaki berpakaian perempuan pernah mendatangi rumah saya. Kaum ini oleh masyarakat kita dijuluki, bencong. Dandanannya cantik dengan pakaian yang tidak norak-norak banget. Seperti Tante Susi tetangga rumah saya.

Saya tidak mengenal utuh wajahnya. “Bidadari warna apa yang datang?” tanya benak saya. Ketika berjabat tangan, mengucapkan nama Yanti Wulandari, saya bingung. Di sela itu ia menyebutkan Yanto Kusuma, teman dekat sekolah. Saya kaget. Ia malah tersenyum. Ayu banget postur tubuhnya.

“Elu tambah bego aja. Gue cakep, kan,” ujar dia dengan suara mendengung, layaknya seorang lelaki tangguh. “Sejak kapan ada bidadari suaranya kayak begini,” pikir benak saya lagi.

Ia akhirnya menceritakan semua. Setiap masuk cerita sedih, jarinya diusapkan ke wajahnya dengan belaian lembut. Ketika tertawa, tangannya gemulai memukul lembut bahu saya. Setiap bicara, ratusan kata ‘eke’ jika menyebutkan dirinya sendiri. Satu kata yang membuat saya tersenyum, ‘eke nepsong’.

“Apaan tuh?” tanya saya. Dia menjawab, “goblok amat sih. Itu artinya, gue napsu.” Saya cuma menganggukan kepala. “Mimpi apa gue semalam,” tanya pikirku lagi.

Yanti atau Yanto namanya, dulunya sosok yang ditakutkan di sekolah. Setiap hari, minta jatah preman hanya untuk membeli sebatang rokok. Saya pernah berkelahi dengannya, karena persoalan perempuan. Ia lebih pintar merayu. Soal gonta-ganti pacar, ia ahlinya.

Tapi setelah puluhan tahun tak bertemu, mengapa ia jadi begini. Banyak pikiran berkecamuk tentang dandanannya. Ia hanya menjawab singkat, “Gue nggak tahu, kenapa aku jadi tertarik menjadi perempuan.” Pernyataan itu juga yang aku ingin tanyakan.

Saya cuma terdiam saja sambil gelengkan kepala dan terus memandang sosok Yanti atau Yanto ini. “Elu jangan ketawa. Malu berteman dengan gue lagi.” Saya akhirnya buka mulut, “gue ngerti, tapi kok bisa.” Ia hanya gelengkan kepala dan akhirnya pergi.

Belakangan saya baru menyadari, ketika hampir sebulan sekali saya dikirimi majalah “Gaya Nusantara” oleh komunitas gay di Surabaya. Majalah ini isinya soal kaum gay melulu. Ada yang hanya berpakaian singlet dengan memperlihatkan tubuh seksinya. Ada yang memperlihatkan sedikit kemaluannya.

Ada juga yang bercerita sebab-sebabnya. Intinya, sebagian besar diakibatkan perubahan psikologis yang memengaruhi jati dirinya berubah menjadi perempuan. Perempuan dianggap sebagai kaum yang terlihat indah. Yang paling mengerikan, akibat patah hati.

Selia, akhirnya pasrah. Ia memilih untuk hidup sendiri. Kini ia menjadi perempuan yang hari-hari dengan kesibukan pekerjaan sebagai wanita karier. Ia bingung untuk menikah lagi. Di kamar kos, ia hidup dengan kesendirian. Namun belum juga bisa percaya kalau mantan suaminya adalah Homoseksual.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu