Kepada Pohon

Kepada yang terhormat seantero pohon seluruh dunia. Perkenankan Aku memperkenalkan diri sebagai seorang yang hanya bisa duduk dan berdiri memandang kehijauan. Tapi Aku akan berlari tatkala melihat daun-daun yang kering tak berdaya. Batang pohon yang menanti ajal tumbang . Tergeletak kaku untuk selamanya. Sama seperti manusia yang akan mati.

Maafkan ketika kawan-kawanku menebang seenaknya tubuhmu yang kekal. Berikan saja tempat di ujung daunmu. Agar penebangmu itu berada di titik-titik kematiannya. Diantara angin yang menghantam keras dan terbawa tak tentu arah. Biarkan saja, terseret arus yang akan dibenturkan kepada karang.

Aku jadi ingat surat terakhirmu kepadaku. “Setiap hari aku merintih. Setiap hari menanti ajal. Hitungan jam, menit dan detik, kami dihantui rayap yang siap memakan setiap jengkal tubuhku. Aku ingin marah, tapi Tuhan belum mengizinkan. Aku ingin membuat angin kencang dan memporak-porandakan seisi bumi.”

“Semua kawan-kawanku, sudah tak ada lagi. Aku berdiri sendiri dengan tubuh kerempeng. Monyet sudah tidak ingin bercengkrama. Burung sudah pergi, bahkan mati. Aku hanya seonggok daun yang tak punya arti.” Itulah kalimat yang teringat.

Aku memang tak bisa berbuat apa-apa. Semua orang yang perduli, selalu kecolongan. Tebang sana. Tebang sini. Tak pernah ada yang bisa mengawasi. Katanya negeriku, akan segera tangkap pelakunya. Dan kata negeriku lagi, langsung dipenjara. Tapi, negeriku juga yang menjadi pelakunya. Uang tetap diatas segalanya.

Engkau selalu menjadi korban. Masih mengiurkan untuk diperjualbelikan. Tubuhmu laku keras dipasaran dalam dan luar negeri. Tapi, dirimu juga yang selalu diperdebatkan atas nama kelestarian. Tak maklum, bumi ini kadang berharap oksigen yang engkau hembuskan. Hanya alasan saja.

Oh…ya…!. Lama kita tidak lagi bertemu. Aku berharap dengan kesendirian, engkau tetap tabah. Sabar. Jangan emosi. Ingat, yang sabar itu disayang Tuhan. Sang Maha Kuasa pasti mendengar titik tangis yang engkau rinaikan setiap saat. Yang terpenting, embun pasti menyapamu tiap pagi.

Aku jadi teringat perbincangan kita beberapa tahun silam tentang bencana. “Akan ada waktunya, jiwa ini marah. Ada saatnya, pohon tumbang bukan oleh manusia. Tapi, oleh angin,” katamu.

“Kami memilih tumbang oleh cakaran singa, macan, atau beruang, yang kukunya tajam. Daripada, rubuh oleh gergaji yang tak pernah kenal lelah. Ada saatnya, negara terguncang atas nama lingkungan,” katamu, lagi.

Ungkapan itu, masih terus tergiang di telinga. Aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Aku khawatir ketika angin kencang menghantam rumahku. Membunuh anak-anakku dan pohon tumbang menimpa aku. Betapa sakitnya, mati ditimpa tubuhmu yang berat. Apalagi, begitu sakit ada ranting yang menancap mataku.

Akhir-akhir ini, aku hanya mendengar dan melihat dari televisi ketika terjadi bencana. Longsor dan banjir, seperti menjadi tontonan yang memilukan setiap saat. Aku mencari batangmu yang kekal di setiap penjuru, tapi sulit ditemukan. Merayapi gunung, bukit, dan hutan, rumahmu sudah berubah menjadi lahan sawit.

Dulu, aku pernah menyapa teman-temanmu di hutan Kalimantan sana. Tapi wajahnya sayu-sayu dengan air matanya yang nampak mengering. Mungkin, mereka sudah lelah menangis. Mereka sudah capek protes. Penat di bawah matahari yang menyilaukan tubuhnya. Pohon yang lainnya, jaraknya berjauhan. Tak teduh rasanya.

Kawasan hutan yang aku datangi, kering. Pohon tumbang berceceran. Sebagian besar sudah membusuk tanpa dedaunan lagi. Lahan sudah berubah menjadi pohon sawit yang masih masih kecil-kecil. Tak jauh, terlihat kepulan asap melambung di langit. “Ada hutan yang terbakar,” kata teman disebelahku.

Dari kejauhan, aku melihat lelaki berbadan kekar berpakaian loreng. Hanya beberapa meter saja, gergaji mesin menderu. Gubrak….suara pohon tumbang terdengar keras. Tak lama kemudian, mesin itu terdengar lagi. Ada lagi pohon yang tumbang. Sayup-sayup terdengar rintihan pohon yang baru saja rubuh. “Selamat tinggal kawanku.”

Kepada pohon. Jika engkau mengizinkan aku memberikan saran. Aku ingin sesekali engkau memperlihatkan kegagahanmu. Seperti kemarahan di kaki Gunung Leuser yang menghantam mati banyak orang. Batangmu bergulingan bersamaan dengan air yang mengucur deras. Mengerikan.

Jika engkau berkenan juga. Rebahkan saja tubuhmu kepada orang-orang yang tidak pernah sadar lingkungan. Jangan membunuh lagi orang yang tak berdosa. Jika engkau amarah di kota besar, tumbangkan saja gedung-gedung yang mengambil lahanmu. Seperti yang pernah aku sampaikan, “beginilah hidup di negeri yang gersang.”

Reactions

Posting Komentar

1 Komentar

sinta mengatakan…
Hai Mba Dewi,
Wah hobi kita sama nih. Kalau ada magnet yg mau dijual atau udah bosan, hubungi aku ya, di shinta_media@yahoo.com. Thx ya.
-sinta-
semarang
Close Menu