Setengah jam kemudian, datang seorang perempuan. Badannya kurus. Ia disambut meriah oleh semua kontributor Pantau. Kecuali saya. Maklum lagi, memang tidak pernah mengenalnya sama sekali. Hanya namanya yang sering saya lihat di masthed Majalah Pantau, Linda Christanty.
Dari cara ngobrolnya, ia banyak bercerita yang lucu-lucu. Semua tertawa. Dalam benak saya, “oh..ini yang namanya Linda.” Saya tadinya membayangkan, perempuan ini bertampang serius dan pendiam.
Tahun 2006, saya bertemu kembali dengan perempuan ini. Selama rentang waktu, Linda hanya diketahui dari Mailis Pantau. Dari kabar ia mendapat penghargaan dari harian Kompas sampai keberadaannya di Aceh.
Ketika kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Aceh, saya ikut rombongan itu. Orang nomor negeri ini bikin acara pasca pengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh di Bireuen, Aceh. Negeri GAM itu, kali pertama saya datangi. Dan kali pertama juga, saya bertemu dengan Sofyan Dawood, tokoh GAM.
Usai dari Bireuen, beruntung oleh kantor diberikan kesempatan tiga hari untuk melancong di Negeri Serambi Mekkah itu. Hari pertama, tidak menemui sosok Linda. Hanya Samiaji Bintang yang menjadi penunjuk jalannya. Saya dibawa ke sekretariatan Pantau Aceh.
“Gile, kok sebelahan ama Markas Tentara,” tanya saya. Bintang tertawa. Bintang saya kenal sejak sama-sama bekerja menjadi jurnalis di Tribun Kaltim, anak perusahaan raksasa media, KOMPAS di Samarinda, Kalimantan Timur. Dia berhenti dari media itu dan akhirnya bergabung menulis di Pantau untuk Aceh.
Kantor Pantau Aceh berlantai Tiga. Lantai satunya terlihat kusam dan sumpek. Hanya ada tumpukan koran bekas. Bintang punya kamar di lantai situ juga. Persisnya di bawah anak tangga yang dindingnya terbuat dari triplek. Panas. Saya tak tega melihat kamarnya.
Di lantai dua, dijadikan kantor Pantau. Ruangan di sini sangat rapi. Tak ada aroma debu. Lantai pun mengkilat.
“Atas kamar siapa,” tanya saya.
“Itu kamarnya Mbak Linda,” kata Bintang sambil menunjuk lantai tiga.
“Man…sandal elu dipindahin dong ke lantai bawah,”
“Kenapa emangnya?”
“Nggak enak ama Mbak Linda,” ujar Bintang dengan logat Betawi pinggiran. Maklum, orang
Tak lama kemudian, saya mengambil rokok dari dalam tas. Bintang melihat saya sudah mematik-matikan korek untuk menyalakan rokok.
“Woi…jangan merokok di sini. Kalau mau merokok, di bawah aja. Mbak Linda nggak suka ada bau rokok,” teriak Bintang tiba-tiba.
“Ntang…gue merokok di kamar mandi. Emangnya nggak boleh,” ujar saya.
“Jangan, pokoknya jangan. Lantai di sini harus steril asap rokok.” Saya menuruti lagi omongannya.
Esok harinya, saya baru bertemu dengan Linda Christanty. Pacar saya menjuluki perempuan ini si Mario Pinto. Julukan yang diambil dari novelnya yang bertajuk Kuda Terbang Mario Pinto. Pacar saya suka sekali membaca cerpen Linda. Ia bahkan selalu memberi kabar kalau ada tulisan Linda yang dimuat media.
“Gimana kabarnya, Lin,” tanya saya.
“Baik. Kok bisa ada di Aceh. Katanya ikut rombongan Presiden ya,” tanya Linda. Saya mengiyakan.
Saya, Linda dan Bintang ngobrol di meja rapat. Sudah tersedia minuman mineral gelas dan sekotak tissue.
Aksen bicaranya terdengar ringan. Ia sesekali membuat guyonan apa saja. Tentang orang Aceh, tentang Samiaji Bintang dan banyak lagi. Serba gosip pun atau yang benar terjadi, kami jadikan guyonan.
Tiba-tiba, ia mengambil tissue.
2 Komentar
Apa kabarmu? Baca postingan ini, jadi... Hahaha...
Sukses ya.
salam,