Nasib Lutung di Bekasi

Dua puluh tahun yang lalu, di pesisir Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, begitu mudah mendengar sahutan lutung di kala pagi. Tak sulit melihat binatang berbulu lebat ini menarik kepiting dengan menjuntaikan ekornya ke dalam air laut di pesisir pantai. Bak pemancing. Dengan ekornya itu, kepiting dibantingnya ke pohon bakau hingga mati. Kemudian, dagingnya disantap.

Kini, sudah tak terdengar lagi teriakan khasnya, “kaik…kaik…”. Tempat itu sudah terasa sunyi. Tak terlihat lagi binatang jenaka ini menjumput daging kepiting. Tak ada lagi, binatang berbahasa latin trancypitecus auratus ini. Seperti tenggelam oleh hantaman ombak pesisir.

Pada saat itu, hutan bakau di sana masih tebal dan rimbun. Lutung bergerombol. Setiap gerombolan terdiri sekitar 30 ekor. Dan mereka menetap di wilayah pesisir Muaragembong yang terletak di perbatasan dengan Kabupaten Karawang. Jejaknya tiada.

“Sekarang, susah melihat monyet-monyet itu nyari makan di sekitar sini. Apalagi yang sampai gerombolan. Bagaimana ada monyet, kalau sudah tidak ada lagi hutan seperti dulu,” kata Tukam, 50 tahun, warga Desa Muara Bendera.

Di kawasan mangrove itu, kondisinya sangat memprihatinkan, hutan bakau sudah semakin terkikis. Saking habisnya, pertambakan warga di balik hutan itu dengan mudah dipandang mata.

Tak hanya lutung yang jadi korban. Burung kuntul pun juga semakin sulit ditemukan. Padahal, burung pemakan ini sering hinggap di perpohonan dan karang-karang di di kawasan pesisir untuk menanti ikan. Kemungkinan, sudah pindah ke pesisir Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Kepunahan itu dibenarkan Odja djuanda, Kepala Bidang Fisik dan Prasarana dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi. Kata dia, hal itu terjadi setelah pembangunan di pesisir Jakarta bagian Utara. “Dulu, banyak monyet, sekarang sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Berdasarkan Studi Kelautan Pelestarian Ekosistem Hutan Bakau Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi yang dilakukan Pusat Studi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia tahun 2002, keresahan itu akibat terjadinya perubahan ekosistem yang menuju kehancuran di daerah ini. Dari analisis yang dilakukan tim itu, luas wilayah hutan bakau dalam kurun waktu 59 tahun (1943-2002) telah mengalami penyusutan hebat dengan tersisa 16.27 persen.

Adapun fauna yang sebelumnya berasosiasi dengan hutan bakau di daerah itu, terdapat 32 jenis, sebagian besar burung rawa seperti kuntul. Juga hewan langka dan dilindungi seperti Lutung Jawa (trachypetus auratus). Serta berbagai hewan yang mempunyai potensi ekonomi untuk dibudidayakan seperti udang dan kepiting bakau.

Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Jamari MP Tarigan juga membenarkan kasus ini. Karena menurut catatannya, memasuki 1990-an, kicauan burung kuntul dan teriakan lutung sudah jarang terdengar. “Dan mulai tahun 1993, habitat itu sudah tidak ditemukan,” ujar dia.

Musnahnya populasi satwa, kata Jamari, penyebabnya ketidakseimbangan dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Ketika hutan mangrove rusak seperti yang telah terjadi di pesisir utara, membuat satwa tidak bisa lagi bertahan di sana . Akhirnya, mereka memilih berpindah ke daerah lain. Kerusakan ini dibuktikan dari hasil foto udara yang dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2005. “150 hektar bibir pantai hilang,” kata Tarigan.

Wahya, Kepala Seksi Bina Produksi Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan kabupaten itu menegaskan, kalau tidak ada saling kerjasama antara Dinas Pengendalian Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk melestarikan lingkungan, maka fauna di masa depan, lingkungan hidup dan ekosistem di dalamnya tidak terselamatkan lagi.

Dalam hal ini, kata Wahya, tentunya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah harus memiliki komitmen penataan ruang sehingga tidak terjadi perubahan peruntukan lahan. Apalagi, lanjut dia, untuk melaksanakan pembangunan harus mengorbankan lingkungan hidup.

“Apalagi, ada rencana di kawasan pesisir utara akan dibangun untuk perniagaan dan bisnis. Ini harus diperhatikan lingkungan hidupnya, ekosistemnya. Dan jangan sampai memperparah kerusakan,” kata Wahya.

Upaya pelestarian yang bisa dilakukan saat ini, menurut Wahya, mau tidak mau instansi terkait bersedia mengadakan pertemuan untuk membahas dan merumuskan bagaimana pemecahan supaya mangrove tidak rusak terus dan dampak kerusakan ekosistem di Muaragembong. Upaya ini, seperti menanti komitmen yang tak kunjung tiba.





Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu