Semalam di Pengungsian

Jakarta masih diguyur hujan. Di depan sekolah Santa Maria, yang menjadi jalan utama melalui Jatinegara Barat, Jakarta Timur, banyak tenda posko banjir yang didirikan di pinggir jalan. Ada posko pemuda Jakarta, posko Yayasan Puri Cikeas, posko tim SAR, bahkan posko partai politik.


Deretan mobil polisi, dan mobil milik Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP dan truk tentara juga terlihat. Di posko SAR, tiga unit perahu karet tersandar. Satu mobil sarana toilet parkir di depan sekolah itu, dan satu lagi mangkal di pertigaan jalan. Di bagian kanan jalan, puluhan warga duduk berhimpitan.

Yang paling mencegangkan, ribuan orang di halaman luar Santa Maria, tergolek lemah. Di tempat itu, tercatat 2.367 jiwa pengungsi yang ditampung. Tidak hanya memadati halaman sekolah, ratusan orang lainnya berlindung di dua tenda milik tentara di tempat yang sama.

Warga pengungsi itu berasal dari Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur. Selama ini mereka tinggal di bantalan Kali Ciliwung. Tampak seorang ibu tua memilih tidur sambil duduk di bangku kayu. Alas tidur mereka hanya tikar dan terpal plastik. Agar bisa terlindungi hujan, bagian atap ditambahi terpal plastik juga.

Hujan terus mengguyur. Tempat pengungsian itu terang benderang oleh lampu jalan dan lampu sorot. Mengenakan mantel hujan, saya mengamati tempat pengungsian itu. Ada spanduk posko kesehatan milik PMI alias palang merah Indonesia yang terpasang di pagar sekolah Santa Maria.

Dalam situasi genting itu, ternyata pelayanan kesehatan hanya bekerja paruh waktu. “Semestinya, mereka bersiap siaga tanpa mengenal waktu. Cuma sampai jam 9 malam saja, lalu mereka langsung pergi,” tutur salah seorang pengungsi, Herman, 35 tahun.

“Setiap hari, ada puskesmas keliling dan posko kesehatan milik PMI. Datang jam 8 pagi, kemudian jam 9 malam sudah menghilang lagi. Pernah ada pengungsi yang secara tiba-tiba demam. Terpaksa ia harus bertahan dengan obat tradisional sampai menunggu besok hari,” ujar dia.

Kondisi penampungan itu cukup terbuka. Angin dan hujan selalu dirasakan setiap malam. Banyak pengungsi membutuhkan selimut. Tak ayal, untuk menutupi tubuh seadanya, ada yang mengandalkan kain batik sampai kertas koran, Sehingga tak aneh bila kita melihat pemandangan orang kedinginan di sana-sini.

Sedangkan untuk makanan, kondisinya lebih baik dibandingkan hari pertama mengungsi. Makanan dan minuman selalu diperhatikan oleh posko. Bahkan beberapa jam sekali, ada saja yang membagikan makanan.

“Tengah malam saja, ada juga yang bagiin roti. Jadi, cukup membaik. Nggak tau deh kalau warga yang masih bertahan di rumahnya,” kata Herman.

“Soal makanan, sepertinya lumayan membaik. Cuma kadang lamban pembagiannya. Kita khawatir anak-anak sempat kelaparan,” ujar Hasniah, 36 tahun, salah seorang pengungsi.

Hasniah menuturkan, sejak Kamis (1/2) bersama dua anaknya, ia sudah berada di pengungsian Santa Maria. Rumahnya di bantalan Kali Ciliwung Jatinegara, terendam. Ia tak menyangka hujan akan semakin lebat dan air sungai kian meninggi.

Di penampungan Santa Maria, dia terpaksa harus berbagi selimut dengan dua anak lelakinya. Anak pertama berusia tujuh tahun dan anak kedua berusia 10 tahun. Jika semakin malam dan Jakarta hujan, dia terpaksa memeluk keduanya. “Jika siang gantian. Saya yang tidur,” tuturnya.

Jakarta pukul 23.30 WIB, Nugroho, petugas posko dari Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) DKI Jakarta terlihat sibuk mendengarkan informasi dari radionya. Dua jam sekali dia harus mencatat ketinggian air di Katulampa, Depok dan pintu air Manggarai.

Posko itu berada di pintu masuk bagian kiri Santa Maria. Malam itu dia ditemani Nawawi, Sekretaris Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Di papan reklame dia menuliskan kondisi terakhir ketinggian air. Pukul 23.30 WIB, di Katulampa air setinggi 140 sentimeter, Depok 295 sentimeter dan pintu air Manggarai 990 sentimeter.

Pada jam sebelumnya, 19.00 WIB, di Katulampa 160 sentimeter, Depok 280 sentimeter, dan pintu air Manggarai 990 sentimeter. Tugasnya tak hanya sekadar mencatat. Ia juga harus banyak melayani segala informasi atau keluhan dari masyarakat. Entah menanyakan ketinggian air, sampai kemungkinan terjadinya kembali luapan di Kali Ciliwung.

“Bahkan ada yang meminta air panas. Ini kan posko pelayanan. Jadi kalau nanyai air panas, di posko dapur bagian depan,” ujarnya, tertawa.

Menjadi petugas posko di situ, banyak juga permintaan lucu-lucu yang harus dihadapi. Ada yang menanyakan jam, bahkan ada juga yang mau minjam charge HP. “Lah…kok nanyain cash hendphone saja, harus ke sini,” ujarnya.

“Tugas catat mencatat ini sebenarnya bukan tugas seorang anggota RAPI. Kami hanya sebatas mempersiapkan sarana telekomunikasi. Eh…ikutan juga menginformasikan segala tetek-bengek. Tapi..nggak papa, ada pengalaman juga,” ujarnya.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampir ke pengungsian itu, dia sedang bertugas. Beliau (SBY) langsung memerintahkan agar terus memantau. Nugroho hanya bilang, “siap”. Kemudian disalami oleh Presiden. Ini kali pertama dia berjabat tangan dan melihat langsung presidennya.

“Ternyata, tangannya biasa saja. Kayak tangan rakyat juga. Saya kira, tangannya lembut,” tuturnya sambil tertawa.

Nawawi ikut tersenyum. Sebagai Sekretaris Kecamatan, dia terpaksa harus memantau terus perkembangan warganya. “Perintah dari Camat dan Wakil Gubernur Jakarta (Fauzi Bowo),” tutur dia. Tak kaget, wajahnya terlihat letih. “Sudah tiga hari memantau terus. Tugas saya memantau malam.”

Nawawi pernah menjadi pejabat lurah di dua wilayah Jakarta. Di Kelurahan Pasar Rebo dan Kelurahan Cililitan. Dari dua wilayah itu, banjir yang parah dialami, di Kelurahan Cililitan. Bahkan banjir tahun 2007 lebih parah dari banjir siklus lima tahun sebelumnya.

“Ya…begini deh resikonya menjadi pelayan masyarakat. Bukan cuma mengurusi KTP, banjir juga harus dilayani,” ujarnya.

Jumlah warga Kelurahan Kampung Melayu yang sudah mengungsi sebanyak 5.097 jiwa yang penyebarannya di 10 lokasi penampungan. Sedangkan jumlah warga di wilayah itu, mencapai 18.987 jiwa. Santa Maria adalah titik penampungan terbesar.

Pukul 23.45 WIB, dari radio pemancar posko banjir Santa Maria, ada informasi; seorang lelaki sendirian di atap salah satu rumah penduduk Jatinegara. “Nah…ada info baru lagi tuh. Biasanya, malam ini juga langsung ada pencarian,” ujar Nugroho.

Saya langsung keluar ke halaman posko. Hujan tidak turun lebat. Beberapa orang tim SAR sedang sibuk memompa kaki perahu karetnya. Mereka kelihatan gelisah. Ada mobil patroli Satpol PP bersiap siaga yang dikawal oleh anggota polisi. Perahu diangkat ke kap mobil.

Ada yang mau dievakuasi. Katanya terjebak banjir dan tidak bisa berenang,” ujar salah seorang anggota tim SAR.

Dengan kendaraan bermotor, saya mengikuti dari belakang. Persis di samping kiri Gereja Koinina, tim SAR sudah bersiap-siap melakukan penjemputan. Wilayah yang akan ditelusuri, Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Persisnya, di pemukiman penduduk Kebon Pala. Sekitar 300 meter dari gereja itu.

Pukul 00.15 WIB (5/2), tim SAR langsung menelusuri banjir. Hujan tetap mengguyur tapi tak lebat. Banyak orang yang mendekat. Tim SAR hanya mengandalkan lampu senter. Listrik di wilayah itu padam total. Gelap.

Pukul 00.45, pencarian baru berhasil. Ternyata seorang pria berusia 20 tahun. Namanya Sabar. Pria ini tidak bisa berenang. Sabar terlihat kedinginan. Bajunya basah. Untuk bicara saja bibirnya gemetaran. Selama berada di atap rumah orang lain, dia hanya berdiam diri dan melamun. Pria ini langsung dilarikan ke pos polisi Jatinegara.

Juniarta, tetangga korban yang juga menjadi pemandu jalan tim SAR saat pencarian menceritakan, sejak sekitar pukul 19.00 WIB, Sabar ikut rombongan evakuasi. Perahu karet tim SAR ada yang bocor. Sabar akhirnya diturunkan di atas rumah warga lainnya untuk mengurangi beban perahu.

Setibanya di tempat aman, ternyata tim SAR tidak kembali lagi menjemput Sabar yang ditinggalkan. Juniarta sudah mengingatkan berulangkali ke tim SAR tentang keberadaan Sabar. “Mereka (SAR) bilangnya, mau istirahat dulu. Capek,” ujarnya.

Juniarta bingung. Hingga pukul 23.00 WIB, dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Dia kebingungan sendiri. “Saya juga nggak bisa berenang.” Akhirnya, warga setempat menyarankan untuk melaporkan masalahnya ke kantor polisi. “Baru deh…bisa ditindaklanjuti,” tuturnya.

Pukul 01.00 WIB. Jakarta kembali diguyur hujan lebat. Suasana jalan Jakarta benar-benar sepi. Hanya sesekali kendaraan yang melintas. Ada gerobak pedagang nasi goreng dan pedagang buah di kawasan pasar Jatinegara. Saya berteduh di sebuah lapak tenda pedagang nasi. Lapar.

Pukul 02.00, hujan mulai reda. Saya meluncur ke penampungan pengungsi di wilayah Tebet. Jarak dari Pasar Jatinegara ke wilayah itu, sekitar 10 Kilometer. Harus berputar melintasi Jalan Manggarai dan Jalan Dr. Sahardjo. Di aula Universitas Islam Attahiriyah yang berada di jalan Abdul Syafi’i, sebagian besar pengungsi sudah tertidur lelap.

Mereka tidur berhimpitan. Banyak warga yang tidak mengenakan selimut. Sementara, udara kian dingin. Warga lainnya berjaga-jaga sambil mengobrol di bagian halaman kampus. Suasana itu juga terlihat di halaman kantor Kelurahan Bukit Duri.

Pukul 03.15 WIB, saya sudah kembali ke penampungan di Santa Maria. Langit Jakarta tetap sunyi tak berbintang dan berawan merah. Malam itu, saya tetap bertahan di pengungsian. Udara terasa sangat dingin. Padahal, saya sudah mengenakan jaket tebal.

Ada lelaki yang sibuk membersihkan jalanan dari sampah dengan sapu ijuk. Di tenda posko SAR, dua orang terjaga dan anggota tim lainnya tidur pulas. Anggota polisi dan tentara sesekali memantau ke tempat istirahat pengungsi. Posko yang paling ramai milik pemuda Jakarta. Posko ini dikoordinir Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Nugroho, petugas posko, masih terlihat memantau terus perkembangan ketinggian air dari radio frekuensinya. Dia tidak tidur hampir setiap malam. Dan setiap hari pula ia harus kuat minum kopi dan merokok untuk teman bergadang.

Pukul 03.45 WIB, walaupun tidak hujan, udara Jakarta semakin dingin. Sesekali air kopi saya teguk agar tak ngantuk. Sedangkan di tempat pengungsian itu, suasananya begitu mengharukan. Ada warga yang tertidur sambil duduk dengan tubuh bersandarkan tembok. Ada juga yang tertidur dengan menghimpitkan tangannya di lutut sambil membungkuk. Tak jauh dari tempat mereka tidur, tampak tong warna krem berisi tumpukan sampah menyebarkan bau menyengat.

Empat bocah berusia di bawah lima tahun, tidur pulas tanpa selimut dan alas kepala. Pakaian yang dikenakan seadanya. Hanya beralaskan karpet hijau dan lembaran bekas karung beras. Banyak baju dijemur di atas mereka. Dari pakaian orang dewasa sampai pakaian anak-anak.

Pukul 04.00 WIB, ada pembagian roti dan minuman. Mereka menerimanya tidak berebutan. Sepuluh menit kemudian ada donator yang membawa buntelan plastik berisi kain yang bisa digunakan sebagai selimut khusus untuk anak-anak. Pada jam itu, beberapa pengungsi sudah terbangun. “Maunya sih kembali lagi ke rumah,” tutur seorang pengungsi bernama Hasan.

Reactions

Posting Komentar

3 Komentar

wilda cakep mengatakan…
tlg dk yang tahu dmn menjual ginjal hub saya di email ini segera t1y417_28@yahoo.co.id ( wilda) saya tidak suka merokok ataupun minum2an keras selain itu saya juga rutin melakukan donor darah (b+) n saya tidak suka obat2an umur saya 24 th.terimakasih
Anonim mengatakan…
Bagi siapa saja, saya
Usia 23 tahun (2010 saat ini), golongan darah O,disini atas nama panggilan Azzar,, jika ada yang berminat dan membutuhkan ginjal.
saya berikan ginjal saya jika cocok dengan penderita, silahkan.
Hubungi saya (087 856 081 567-sebelumnya sms dulu jika ingin telepon).
saya donorkan ginjal saya, buat yang pantas menerimanya, semoga saya bertemu dengan orang yang tepat, aminn
Anonim mengatakan…
Saya mau menjual ginjal saya 1 .saya laki laki umur 17 thn.sehat tidak merokok ,tidak ada penyakit bawaan .saya jual 100jt saja buat sekolah .bagi yg dapat mempertemukan saya atau yg membutuhkan langsung dapat menghubungi saya :089601717345.khusus daerah medan
Close Menu