Satu unit eskavator, terus meraup kayu-kayu yang tersangkut di pintu air itu. Hasilnya, tumpukan kayu setinggi 3 meter terhampar di pinggir bendungan. Banyak penduduk yang memungutinya. Sementara arus air semakin deras.
Malam harinya, saya meluncur ke kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Cuaca mendung. Dari atas jalan layang terminal Kampung Melayu, puluhan orang duduk di pinggir jalan sambil menyaksikan tingginya air di jalur utama. Persisnya di Kampung Melayu Besar. Lintasan yang menghubungkan Kampung Melayu dan Tebet hingga ke
Persis di atas jalan layang Kampung Melayu, saya berdiri. Lampu jalan dan rumah penduduk gelap gulita. Sepeda motor di sisi kanan jalan terendam. Yang terlihat hanya ujung kaca spion.
Seorang pria berkopiah, duduk di tepi jalan. Namanya Gunadi berusia 18 tahun. Satu tas dipunggungnya berisi pakaian basah. Hari itu, dia baru kembali dari mondok di pesantren tradisional Tegal, Jawa Tengah. Ketika banjir
Siang hari, dia mencoba menerobos genangan air yang tingginya mencapai 1,7 meter. Dengan berpegangan pada besi pagar pembatas, dia berjalan merayap. Baru separuh jalan, air sudah mencapai lehernya. Dia tetap nekad. Tiba-tiba, arus dari sebelah kiri menghantamnya.
Gunadi berpegangan kencang. Dia nyaris tak sanggup lagi menggenggam besi. Beruntung, orang-orang di sebuah perahu karet menjemputnya. “Kalau nggak cepat dijemput, mungkin sudah terhanyut,” ujarnya.
“Tadi ada tetangga yang ketemu. Katanya semua keluarga selamat dan memilih tetap bertahan di lantai dua. Yang penting dapur sudah diangkat naik. Jadi, masaknya di atas juga,” tuturnya.
Pukul 20.00 WIB saya meninggalkan lokasi itu. Berniat berputar ke kawasan Tebet melalui Jalan Otista, Jakarta Timur. Ternyata jalan penghubung antara Kampung Melayu ke arah Bidaracina juga tergenang air. Jalur kendaraan dialihkan melalui Jalan Pedati, melintasi Otista I dan Otista II. Jalanan alternatif itu padat kendaraan. Macet.
Saya berputar kembali melalui Otista III. Banyak kendaraan yang melintas dan akhirnya bertemu underpass Cawang untuk melintas ke M.T Haryono. Lampu gedung dan perkantoran di kawasan itu padam. Rambu lalu lintas untuk satu jalur tidak berlaku. Tak aneh, kita berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan.
Tugu Pancoran terlihat dari kejauhan. Lampu penerang kawasan itu terang benderang. Langit mulai terlihat memerah bersamaan dengan hujan rintik-rintik. Di jalur nontol, kendaraan jarang melintas. Pukul 21.45 WIB, barulah hujan deras terjadi.
Dengan mengenakan mantel, saya terus menelusuri jalan ke arah Bukit Duri. Penasaran. Di pemberitaan televisi sejak pagi, kawasan itu merupakan kawasan parah karena lokasinya tak jauh dari Kali Ciliwung. Kawasan itu juga bersebelahan dengan jalur utama ke arah terminal Kampung Melayu.
Dekat rel kereta api stasiun Tebet, orang-orang ramai. Aula Universitas Islam Attahiriyah dipadati ratusan pengungsi. Mereka tidur dengan alas seadanya. Lantai ubin dilapisi tikar dan terpal plastik. Di depan kampus, ada posko bantuan yang bersebelahan dengan satu unit mobil toilet.
“Di mana penampungan warga korban banjir lainnya?” tanya saya kepada seorang petugas posko banjir.
“Di kantor Kelurahan Bukit Duri juga bnyak warga yang ditampung,” ujarnya sambil menunjuk arah ke lokasi yang dimaksud.
Hujan masih terus menguyur
Surtinah, seorang ibu berusia 42 tahun terlihat letih. Tangannya sibuk mengipas-ngipas lipatan Koran ke wajah anaknya yang tidur lelap. Anaknya itu diselimuti kain batik. Sementara hujan masih terus mengguyur
Sedangkan suami Surtinah, masih memilih berada di rumahnya yang berlantai dua di bantalan Kali Ciliwung untuk menjaga barang-barang mereka. Pada hari Kamis (1/2), saat ada informasi rumahnya akan tergenang air, ia memilih tetap di rumah. Menurutnya,
“Semua barang sempat diangkut naik ke lantai dua. Jadi, yang saya bawa selama di penampungan cuma pakaian seadanya saja,” tuturnya.
Yang dikhawatirkannya justru kesehatan anaknya yang masih berusia tiga tahun. Apalagi, cuaca di pengungsian sangat dingin. Lebih parah lagi jika hujan turun. “Makanya, tiap hari, saya minta posko kesehatan untuk memeriksa kesehatannya,” ujarnya.
Soal makanan, dia mengatakan, di posko pengungsian sebenarnya makanan cukup memadai. “Yang jadi masalah, warga yang masih bertahan di rumah masing-masing dan tidak mau keluar dari kepungan banjir,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman banjir besar yang melanda
Pada tahun 2002, banjir besar melanda
Seperti wilayah Kelapa Gading dan Kayu Putih, Jakarta Timur. Kawasan sentra bisnis dan perumahan elit ini, juga tergenang air. Bahkan banjir memasuki rumah-rumah mewah. Tak ayal lagi, warga dari golongan menengah atas ini kalang kabut menyelamatkan harta bendanya.
Era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, kawasan Kelapa Gading pernah dirintis agar tetap menjadi jalur hijau. Karena kawasan itu menjadi tulang punggung wilayah resapan air bagi
Kini, perkembangan wilayah itu sangat dasyat. Tak ada sama sekali kawasan resapan air. Semua lahan berubah fungsi menjadi pemukiman rumah mewah, rumah makan, pusat pembelanjaan, pusat olahraga, pusat bisnis dan apartemen. Ironisnya, jika hujan besar terjadi, semua berharap banjir yang mucnul melalui dari Kali Sunter.
Bagi warga golongan menengah ke bawah, bencana banjir justru dijadikan kesempatan mencari uang. Untuk mengangkut barang, dikenakan uang jasa dari Rp 100 ribu sampai Rp 1 juta. Jika ingin gratis, bisa menumpangi kendaraan milik tentara. Tapi harus berdesakan dengan warga lainnya.
Semua akses jalan terkepung dan tidak berfungsi. Jalan layang tol Cawang saja, sudah berubah fungsi. Motor juga dibebaskan melintas. Untuk ke kawasan ITC Cempaka Mas dan Universitas Jayabaya, jalanan terkepung banjir dengan ketinggian satu meter lebih.
Hingga akhir pekan lalu, dampak dari banjir
Separuh lebih wilayah
0 Komentar