Dari Pintu Air Manggarai

Awal Februari, langit Kota Jakarta terlihat sunyi. Tak terlihat ada bulan dan bintang. Stasiun radio menyiarkan perkiraan bahwa Jakarta akan diguyur hujan. Tak aneh, malam itu awan samar-samar berwarna hitam. Mendung tebal menggelapi langit. Dan sekitar pukul 20.30 WIB, di Jakarta bagian selatan hujan tak berangin mulai turun.


Dengan motor saya melintasi perumahan elit Patra Jasa, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Wilayah permukiman elit itu juga terlihat lengang. Hanya sesekali kendaraan roda empat melintas. Mengenakan mantel, saya menerobos hujan lebat dan genangan air.

Sampai di Manggarai, hujan tak ada. Saya singgah di atas jembatan yang tak jauh dari pintu air Manggarai. Suasana ramai oleh penduduk yang ingin melihat langsung luapan air. Sebagian mereka berada di jembatan dan di kanan kiri pintu bendungan. Banyak pengendara sepeda motor dan mobil kemudian berhenti. Semua beramai-ramai memandangi ke arah genangan air yang terus meninggi.

Luapan air itu tampak bergolak. Batangan kayu yang terbawa bertumpukan menghantam-hantam pintu air. Sekitar 30 sentimeter lagi, air itu akan menggenangi terowongan jalan persis di bawah rel kereta api.

Pintu air Manggarai adalah bendungan pengaturan air di Jakarta. Bendungan ini menjadi penentu debit air yang bisa ditampung oleh ibukota Indonesia ini, terutama kiriman air hujan dari Kota Bogor yang melintasi Kali Ciliwung.

Hari itu, Sabtu malam (3/2). Jam handphone menunjukkan pukul 20.30 WIB. Pinggiran pintu air menjadi semakin dijejali para penonton. Tersebar kabar, pintu air itu rencananya akan dibuka pukul 21.00 WIB.

“Jika tak dibuka, maka sebagian wilayah Jakarta bagian timur akan lebih tergenang. Jika dibuka, berdampak ke pemukiman bisnis bahkan Istana Negara akan merasakan banjir,” ujar Adie Widodo, petugas pintu air Manggarai.

“Ketinggian air sudah tidak wajar. Bahkan lebih tinggi dari banjir yang melanda Jakarta di tahun 2002. Bayangkan, ketinggian air sudah di atas maksimalnya, 1050 sentimeter,” ujar Adie.

Dalam batas melebihi ketinggian normal seperti itu, sebenarnya status Jakarta sudah Siaga I. Namun masih saja dinyatakan siaga II oleh pemerintah. Untuk siaga I, yang mengizinkan membuka pintu air harus berdasarkan perintah langsung dari Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Sedangka siaga II, masih ditangani pengaturannya oleh petugas pintu air.

Saya terus mendengarkan radio walkman dengan handset menyumpal di telinga. Ada berita, pemerintah DKI terpaksa akan membuka pintu air Manggarai. Sebab pintu itu sudah tidak lagi mampu menampung limpahan air. Apalagi di pintu air Ciliwung-Kota, juga sudah mulai dibuka perlahan.

“Wah, alamat rumah mewah orang Menteng ikut kebanjiran. Jadi seru deh banjirnya. Orang kaya juga ngerasain banjir,” tutur seorang warga.

Menteng memang kawasan perumahan elit di Jakarta. Kawasan yang terkenal dengan pemukiman elit itu, dilalui sungai yang dekat pintu air Manggarai. Sungai itu terus mengular ke sentra bisnis di Jakarta Kota. Juga akan melalui komplek Istana Negara.

Pintu air Manggarai dibangun oleh seorang profesor doktor asal Belanda, Van Breen di akhir abad 20. Saat itu Jakarta masih bernama Batavia. Di zaman kolonial itu sudah dipikirkan penanggulangan bencana banjir. Makanya, dibentuklah Dinas Pengairan pemerintah kolonial di tahun 1918.

Konsep saat itu mengendalikan aliran air dari hulu sungai, dan membatasi volume air yang masuk Jakarta Kota. Pintu air Manggarai difungsikan untuk menampung limpahan air yang nantinya akan diaruskan ke laut melalu sisi barat. Akhirnya, dikenallah sebutan Banjir Kanal Barat yang membelah Jakarta hingga ke Muara Angke. Di musim hujan, limpahan air kemudian mudah dikendalikan.

Banjir Kanal Barat dibangun tahun 1922. Pengerjaannya secara bertahap, mulai dari Pintu Air Manggarai terus mengalir ke Sungai Cideng, Krukut, Grogol, sampai Muara Angke. Sehingga, beban sungai di bagian utara menjadi relatif terkontrol.

Kini, jalur itu nampaknya sudah tidak bisa diharapkan sepenuhnya. Wilayah Jakarta sudah semakin luas dan bertambah. Dulu, luas Jakarta hanya 2.500 hektar, kini sudah mencapai angka 65.00 hektar. Tak hanya itu. Jumlah pemukiman juga semakin banyak dan berkembang pesat. Sehingga, beban air sangat sulit diatur oleh satu pintu air pengendali saja.

Pukul 21.15 WIB, ternyata pintu air Manggarai belum juga dibuka. Dua orang petugas pintu air berbincang serius. Saya mendekat dan menguping percakapan mereka. “Sedang ada rapat di Balaikota. Kemungkinan pagi dinihari, pintu air boleh dibuka,” ujarnya. Saya meninggalkan tempat itu. Hujan turun rintik-rintik. Hanya terlihat awan berwarna hitam di langit. Mendung masih tebal.

Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu